Pulau Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan penduduk mayoritas beragama Hindu, tapi siapa sangka di provinsi yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata itu juga terdapat satu desa yang masyarakatnya dominan menganut agama Islam.
Desa tersebut dikenal dengan nama Desa Pegayaman. Sebuah desa yang terletak di wilayah pegunungan Bali bagian utara, tepatnya terletak di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, yang berjarak sekitar 90 kilometer arah utara dari Kota Denpasar itu.
Memasuki wilayah Desa Pegayaman sepertinya sama saja dengan masuk desa lain di Bali. Masyarakatnya menggunakan bahasa daerah Bali sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari.
Hal yang membedakan adalah di setiap rumah tidak diketemukan berbagai ornamen Pura yang biasa dijumpai pada rumah-rumah masyarakat Bali beragama Hindu.
Tokoh masyarakat Pegayaman adalah Komang Sohihul Islam yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengatakan toleransi beragama di desa tersebut sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu.
Warga Muslim telah menempati desa itu sejak pertama kali berdiri Kerajaan Buleleng di bawah kepemimpinan Ki Barak Panji Sakti sekitar awal abad ke-16.
"Kami telah diajarkan oleh para orang tua kami mengenai apa yang kami lakukan dan kami yakini saat ini. Di desa kami punya pandangan bahwa semua adalah saudara. Sejak dulu itu... Bukan baru-baru ini saja saat kata toleransi mulai digaung-gaungkan," ucapnya.
Sohihul menceritakan, ada sebutan khas dalam Bahasa Bali untuk masyarakat Hindu dan Muslim di daerah itu. Mereka yang beragama Hindu disebut dengan "Nyame Hindu" atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan Saudara Hindu, sedangkan mereka yang beragama Islam disebut dengan "Nyame Selam" atau saudara yang beragama Islam.
Ia berpendapat semua umat di dunia ini memang adalah bersaudara. Tidak ada yang membeda-bedakan. Agama adalah keyakinan setiap orang yang harus dihargai dan tidak boleh disamakan.
"Dewasa ini dimana masalah radikalisme menjadi bahasan hangat kami mengajak semuanya untuk bangkit dari perbedaan karena memang kita semua adalah bersaudara," ujarnya.
Oleh karena itu, masyarakat di desa menyebut semua dengan sebutan `Nyame`. "Jika kita memang bersaudara mengapa kita harus bermusuhan dan saling membenci? Bukankah bersaudara harus saling mengasihi dan menyayangi," katanya.
Akulturasi
Tidak hanya itu, tokoh Desa Pegayaman yang juga menjabat Sekretaris Desa, Ketut Hatta Amrullah memaparkan umat dari berbeda agama di Desa Pegayaman itu memiliki pola akulturasi yang tersistem dalam tata peraturan hari besar keagamaan.
Umat Islam di Pegayaman mempunyai tradisi yang hampir sama dengan masyarakat Bali pada umumnya seperti tradisi Penampahan atau hari memotong hewan menjelang hari raya terakhir baru dari hari raya besar keagamaan.
Hal ini diterapkan oleh setiap umat Islam merayakan hari raya besar seperti Idul Fitri, Maulid Nabi, Idul Adha dan beberapa perayaan besar lain.
"Setiap perayaan besar keagamaan, kami juga tetap melestarikan budaya leluhur yakni `Ngejot` atau memberikan berbagai jenis makanan kepada "Nyame Hindu".
Hal yang sama akan dilakukan oleh umat Hindu di daerah itu. Tentu pemberian dari umat Hindu disepakati merupakan berbagai makanan yang tidak mengandung daging babi.
Bukan hanya itu saja, juga ada tradisi membuat orang-orangan semacam ogoh-ogoh di Bali setiap perayaan Idup Fitri yang kini masih terus dijalankan.
"Budaya yang tidak ada larangan dalam ajaran agama, kenapa harus dihindari. Bahkan, dengan itu maka rasa kebersamaan akan semakin terasa," katanya.
Hatta Amrullah juga mengungkapkan, salah satu tradisi lain menunjukkan adanya toleransi dan akulturasi budaya di Pegayaman adalah penggunaan nama khas Bali di depan nama seseorang.
Setiap orang yang lahir di desa itu masih menggunakan nama-nama depan seperti Wayan, Kadek, Made, Komang dan Ketut seperti masyarakat Bali umumnya, namun yang membedakan di Pegayaman adalah untuk anak keempat dengan nama Ketut terus dipakai jika ada nama anak kelima dan seterusnya.
Jadi kalau ada anak kelima, keenam dan seterusnya itu yang dipakai tetap nama Ketut. Berbeda dengan nama pada masyarakat Bali dimana kembali ke nama awal untuk anak paling besar yakni Gede atau Putu, katanya.
Tradisi lain yang juga tetap dipertahankan hingga saat ini adalah tradisi membuat "Sokok Basa" atau sebuah persembahan yang terdiri dari telur ditusuk-tusuk dan diletakkan di atas Baten Pajegan.
Saat takmir masjid, kalangan warga mencabut sebutir telur dan menyerahkannya kepada pria pengantar Sokok Basa. Penyerahan Sokok Basa" merupakan bagian dari tradisi Maulid Basa, rangkaian perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sebutir telur yang diberikan kembali itu adalah upah bagi pengantarnya dan ada kebanggaan sendiri menyimpan telur itu di rumah warga masing-masing.
Kebersamaan
Kebersamaan dalam bentuk lain juga dicontohkan Bendesa Pakraman Desa Adat Amertesari, Desa Pegayaman, Jero Lingga.
"Salah satu kebersamaan di Desa Pegayaman adalah keterlibatan pecalang atau petugas keamanan desa adat yang selalu ikut mengamankan perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Idul Adha dan lain-lain," katanya.
Hal tersebut menurutnya sudah berjalan turun temurun, apalagi sebelum adanya polisi, pecalang memang eksis lebih dulu sebagai petugas keamanan tiap desa adat di Bali.
Jero Lingga menceritakan, sebagai tokoh umat Hindu di desa, pihaknya memiliki hubungan baik dengan semua tokoh Islam yang ada, baik di desa dinas maupun pesantren.
"Setiap permasalahan berusaha diselesaikan dengan jalan musyawarah. Kami selalu menekankan kebersamaan diantara warga desa, tanpa membedakan agama," tuturnya.
Pihaknya berharap Desa Pegayaman menjadi contoh toleransi beragama di Bali, bahkan Indonesia. Terlebih saat ini banyak muncul kegiatan mengarah perilaku radikal yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
"Momentum Hari Kebangkitan Nasional ini kami berharap Desa Pegayaman dapat menjadi `pioneer` kerukunan umat beragama dan dapat tetap seperti ini hingga ratusan tahun kedepan," terangnya.
Jero Lingga pun berpesan kepada semua generasi muda untuk fokus maju ke depan ikut membangun bangsa tanpa ikut mempermasalahkan perbedaan yang selama ini sering gaduh di media sosial.
"Pemuda jangan ikut-ikutan saling hujat dan membenci satu sama lain yang berbeda agama. Jadilah contoh generasi yang berpendidikan dengan fokus pada pekerjaan demi ikut terlibat dalam pembangunan," terangnya.
Apalagi, para pendahulu negeri ini telah membuktikan bahwa kebangkitan nasional itu terwujud dari persatuan, gotong royong, musyawarah, saling menghormati, dan berbagai bentuk kebersamaan.
Bahkan, masyarakat Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, telah mencontohkan bahwa saling menyalahkan dalam menyikapi perbedaan atau cara berpikir radikal justru akan menjauhkan bangsa ini dari kebangkitan. (WDY)
-----------------------
*) Penulis adalah pewarta tulis LKBN Antara Biro Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Desa tersebut dikenal dengan nama Desa Pegayaman. Sebuah desa yang terletak di wilayah pegunungan Bali bagian utara, tepatnya terletak di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, yang berjarak sekitar 90 kilometer arah utara dari Kota Denpasar itu.
Memasuki wilayah Desa Pegayaman sepertinya sama saja dengan masuk desa lain di Bali. Masyarakatnya menggunakan bahasa daerah Bali sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari.
Hal yang membedakan adalah di setiap rumah tidak diketemukan berbagai ornamen Pura yang biasa dijumpai pada rumah-rumah masyarakat Bali beragama Hindu.
Tokoh masyarakat Pegayaman adalah Komang Sohihul Islam yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengatakan toleransi beragama di desa tersebut sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu.
Warga Muslim telah menempati desa itu sejak pertama kali berdiri Kerajaan Buleleng di bawah kepemimpinan Ki Barak Panji Sakti sekitar awal abad ke-16.
"Kami telah diajarkan oleh para orang tua kami mengenai apa yang kami lakukan dan kami yakini saat ini. Di desa kami punya pandangan bahwa semua adalah saudara. Sejak dulu itu... Bukan baru-baru ini saja saat kata toleransi mulai digaung-gaungkan," ucapnya.
Sohihul menceritakan, ada sebutan khas dalam Bahasa Bali untuk masyarakat Hindu dan Muslim di daerah itu. Mereka yang beragama Hindu disebut dengan "Nyame Hindu" atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan Saudara Hindu, sedangkan mereka yang beragama Islam disebut dengan "Nyame Selam" atau saudara yang beragama Islam.
Ia berpendapat semua umat di dunia ini memang adalah bersaudara. Tidak ada yang membeda-bedakan. Agama adalah keyakinan setiap orang yang harus dihargai dan tidak boleh disamakan.
"Dewasa ini dimana masalah radikalisme menjadi bahasan hangat kami mengajak semuanya untuk bangkit dari perbedaan karena memang kita semua adalah bersaudara," ujarnya.
Oleh karena itu, masyarakat di desa menyebut semua dengan sebutan `Nyame`. "Jika kita memang bersaudara mengapa kita harus bermusuhan dan saling membenci? Bukankah bersaudara harus saling mengasihi dan menyayangi," katanya.
Akulturasi
Tidak hanya itu, tokoh Desa Pegayaman yang juga menjabat Sekretaris Desa, Ketut Hatta Amrullah memaparkan umat dari berbeda agama di Desa Pegayaman itu memiliki pola akulturasi yang tersistem dalam tata peraturan hari besar keagamaan.
Umat Islam di Pegayaman mempunyai tradisi yang hampir sama dengan masyarakat Bali pada umumnya seperti tradisi Penampahan atau hari memotong hewan menjelang hari raya terakhir baru dari hari raya besar keagamaan.
Hal ini diterapkan oleh setiap umat Islam merayakan hari raya besar seperti Idul Fitri, Maulid Nabi, Idul Adha dan beberapa perayaan besar lain.
"Setiap perayaan besar keagamaan, kami juga tetap melestarikan budaya leluhur yakni `Ngejot` atau memberikan berbagai jenis makanan kepada "Nyame Hindu".
Hal yang sama akan dilakukan oleh umat Hindu di daerah itu. Tentu pemberian dari umat Hindu disepakati merupakan berbagai makanan yang tidak mengandung daging babi.
Bukan hanya itu saja, juga ada tradisi membuat orang-orangan semacam ogoh-ogoh di Bali setiap perayaan Idup Fitri yang kini masih terus dijalankan.
"Budaya yang tidak ada larangan dalam ajaran agama, kenapa harus dihindari. Bahkan, dengan itu maka rasa kebersamaan akan semakin terasa," katanya.
Hatta Amrullah juga mengungkapkan, salah satu tradisi lain menunjukkan adanya toleransi dan akulturasi budaya di Pegayaman adalah penggunaan nama khas Bali di depan nama seseorang.
Setiap orang yang lahir di desa itu masih menggunakan nama-nama depan seperti Wayan, Kadek, Made, Komang dan Ketut seperti masyarakat Bali umumnya, namun yang membedakan di Pegayaman adalah untuk anak keempat dengan nama Ketut terus dipakai jika ada nama anak kelima dan seterusnya.
Jadi kalau ada anak kelima, keenam dan seterusnya itu yang dipakai tetap nama Ketut. Berbeda dengan nama pada masyarakat Bali dimana kembali ke nama awal untuk anak paling besar yakni Gede atau Putu, katanya.
Tradisi lain yang juga tetap dipertahankan hingga saat ini adalah tradisi membuat "Sokok Basa" atau sebuah persembahan yang terdiri dari telur ditusuk-tusuk dan diletakkan di atas Baten Pajegan.
Saat takmir masjid, kalangan warga mencabut sebutir telur dan menyerahkannya kepada pria pengantar Sokok Basa. Penyerahan Sokok Basa" merupakan bagian dari tradisi Maulid Basa, rangkaian perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sebutir telur yang diberikan kembali itu adalah upah bagi pengantarnya dan ada kebanggaan sendiri menyimpan telur itu di rumah warga masing-masing.
Kebersamaan
Kebersamaan dalam bentuk lain juga dicontohkan Bendesa Pakraman Desa Adat Amertesari, Desa Pegayaman, Jero Lingga.
"Salah satu kebersamaan di Desa Pegayaman adalah keterlibatan pecalang atau petugas keamanan desa adat yang selalu ikut mengamankan perayaan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Idul Adha dan lain-lain," katanya.
Hal tersebut menurutnya sudah berjalan turun temurun, apalagi sebelum adanya polisi, pecalang memang eksis lebih dulu sebagai petugas keamanan tiap desa adat di Bali.
Jero Lingga menceritakan, sebagai tokoh umat Hindu di desa, pihaknya memiliki hubungan baik dengan semua tokoh Islam yang ada, baik di desa dinas maupun pesantren.
"Setiap permasalahan berusaha diselesaikan dengan jalan musyawarah. Kami selalu menekankan kebersamaan diantara warga desa, tanpa membedakan agama," tuturnya.
Pihaknya berharap Desa Pegayaman menjadi contoh toleransi beragama di Bali, bahkan Indonesia. Terlebih saat ini banyak muncul kegiatan mengarah perilaku radikal yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
"Momentum Hari Kebangkitan Nasional ini kami berharap Desa Pegayaman dapat menjadi `pioneer` kerukunan umat beragama dan dapat tetap seperti ini hingga ratusan tahun kedepan," terangnya.
Jero Lingga pun berpesan kepada semua generasi muda untuk fokus maju ke depan ikut membangun bangsa tanpa ikut mempermasalahkan perbedaan yang selama ini sering gaduh di media sosial.
"Pemuda jangan ikut-ikutan saling hujat dan membenci satu sama lain yang berbeda agama. Jadilah contoh generasi yang berpendidikan dengan fokus pada pekerjaan demi ikut terlibat dalam pembangunan," terangnya.
Apalagi, para pendahulu negeri ini telah membuktikan bahwa kebangkitan nasional itu terwujud dari persatuan, gotong royong, musyawarah, saling menghormati, dan berbagai bentuk kebersamaan.
Bahkan, masyarakat Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, telah mencontohkan bahwa saling menyalahkan dalam menyikapi perbedaan atau cara berpikir radikal justru akan menjauhkan bangsa ini dari kebangkitan. (WDY)
-----------------------
*) Penulis adalah pewarta tulis LKBN Antara Biro Bali.
Video oleh : I Made Bagus Andi Purnomo
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017