Paris (Antara Bali) - Indonesia memiliki potensi untuk
mengembangkan energi baru-terbarukan (EBT) dengan kombinasi energi yang
berasal dari tenaga angin dan solar (matahari).
"Energi
solar dan tenaga angin cocok diterapkan di Indonesia. Mengkombinasikan
keduanya sangat tepat," kata CEO EREN Renewable Energy, David Corchia,
saat ditemui di kantornya, di Marceau, Paris, Rabu (17/5).
Menurut
dia, Indonesia memiliki permintaan listrik yang tinggi dan sebagai
negara kepulauan yang besar serta memiliki sumber daya solar, cocok
mengaplikasikan solar panel yang membutuhkan lahan yang luas.
Namun,
pembangkit listrik tersebut memiliki kelemahan sebab hanya bisa
beroperasi optimal saat sinar matahari melimpah, sehingga tidak bisa 24
jam penuh.
Maka, lanjut dia, dapat dikombinasikan dengan pembangkit listrik tenaga angin.
"Indonesia
mempunyai energi angin yang cukup. Dengan menggunakan tenaga angin,
tidak akan mengubah apapun, lahan yang dipakai tetap bisa dipakai untuk
aktivitas lain seperti pertanian," jelas Executive Vice-President Global
Head of Business Development EREN Renewable Energy, Fabienne Demol.
Ia
mengungkapkan, batas kecepatan angin di area yang sudah diidentifikasi
rata-rata sekitar tujuh meter/detik pada ketinggian turbin 100 meter.
Fabienne
menambahkan, pembangkit listrik tenaga angin bisa diaplikasikan di
lahan yang tidak harus datar (tidak seperti solar panel). Selain itu,
lahan di sekitar pembangkit masih bisa digunakan untuk pertanian
sehingga tidak mematikan aktivitas di kawasan tersebut.
"Bahkan kami bisa cukup dengan menyewa lahan untuk lokasi pembangkit pada orang-orang setempat," ujarnya.
EBT semakin murah
"Daripada
terus membakar batubara, lebih baik menggunakan tenaga angin dan solar,
karena itu lebih baik juga untuk generasi ke depan," kata Corchia.
Hingga
Desember 2016, dari total pembangkit yang sudah beroperasi sebesar
51.860 MegaWatt (MW), sebesar 6.003 MW pembangkit EBT yang telah
beroperasi adalah 6.003 MW atau setara dengan 12 persen, berdasarkan
data dari Kementerian ESDM.
Ketergantungan
terhadap energi fosil, yang dianggap paling murah, masih sangat besar.
Sementara EBT diketahui membutuhkan dana yang mahal.
"Sekitar
10 tahun lalu, energi terbarukan seperti solar panel dan pembangkit
listrik tenaga angin memang sangat mahal. Tetapi karena semakin banyak
yang menggunakan, maka produksi meningkat, harga turun sangat
signifikan. Sehingga biaya solar panel dan pembangkit listrik tenaga
angin semakin murah," jelas David.
Ia menambahkan, teknologi juga terus berinovasi sehingga dapat menekan harga.
"Pembangkit
listrik tenaga angin, misalnya, dulu tingginya hanya 20 meter. Sekarang
mencapai 80 meter sampai 100 meter, yang artinya energi yang dihasilkan
juga jauh lebih besar," tuturnya.
Saat ini,
EREN Renewable Energy sedang mengerjakan proyek 800 MW yang sudah
beroperasi dan dalam pembangunan di Prancis, Italia, Yunani, Israel, dan
India.
Selain itu, ada sekitar 1.500 MW
proyek yang sedang dalam pengembangan di Amerika Latin, Afrika, Jepang,
dan Asia Tenggara termasuk di Indonesia.
Melalui
anak perusahaannya PACE Energy, perusahaan yang dibangun sejak 2012
itu, tahun ini sudah menandatangani nota kesepahaman dengan PLN untuk
mengerjakan delapan proyek energi hibrida terbarukan sebesar 50 MW-70 MW
di atas lahan seluas 100 hektar di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan
Selatan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017