Denpasar (Antara Bali) - Ketiga saksi mahkota yang juga sebagai terdakwa memberikan keterangan berbelit-belit dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Denpasar, Rabu, terkait kasus korupsi dana Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Suwat, Gianyar, Bali, sebesar Rp796 juta lebih.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim I Wayan Sukanila itu, ketiga terdakwa yang saling memberikan kesaksian dalam kasus ini, yakni Sang Ayu Raiyoni (Ketua LPD), Ni Nyoman Nilawati (Sekertaris) dan Ni Made Sutria (Bendahara).

Saksi Sang Ayu Raiyoni mengatakan, terkait selisih atau nilai tabungan yang tidak sesuai jumlah uang tabungan dan kredit milik nasabah yang dikelola di LPD itu menjadi tanggung jawab bersama dengan Nilawati dan Ni Made Sutria.

"Tanggung jawab apabila ada selisih dikeuangan menjadi tanggung jawab bertiga," kata Raiyoni.

Namun, hakim tidak mudah percaya dengan saksi dan meminta saksi memberikan keterangan yang jujur karena telah disumpah. "Jangan sampai keterangan saudara yang memutar-mutar ini justru memberatkan hukuman yang memberatkan saudara jika terbukti," kata hakim mengingatkan saksi Raiyoni.

Kemudian hakim mempertanggungjawabkan tugas saksi Raiyoni, namun pihaknya tidak dapat menjawab tugas-tugasnya dan mengatakan bahwa tidak mengetahui terjadinya selisih uang mencapai ratusan juta itu.

Keterangan saksi Sang Ayu Raiyoni berbeda dengan keterangan dua saksi mahkota lainnya, yakni Nilawati dan Sutria dalam kesaksian sebelumnya. Nilawati dan Sutria menyebut uang tabungan yang dipungut ke nasabah, semuanya diberikan ke Raiyoni sebagai Ketua LPD.

Sedangkan, Nilawati dan Sutria hanya mencatat dan memasukan data ke dalam komputer. Namun keterangan dari dua saksi itu dibantah oleh saksi Raiyoni.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa kasus yang terjadi pada 2010 itu, saat terjadi peralihan sistem manual menjadi komputerisasi yang ditemukan selisih pada buku tabungan dan catatan LPD sebesar Rp68 juta.

Ketiga terdakwa lalu mengakui selisih tersebut sebagai pinjaman mereka dan mengakui memiliki utang di LPD Suwat masing-masing Rp22,8 juta.

Dalam memberikan kredit, ketiga terdakwa juga disebut tidak berpedoman pada peraturan yang berlaku. Para terdakwa memberikan pinjaman kepada warga di luar Desa Suwat dan juga memberikan pinjaman kepada warga tanpa jaminan.

Selain itu, ketiga terdakwa juga melakukan penarikan tabungan nasabah senilai total Rp385 juta dan penarikan dana tabungan sukarela tanpa diketahui pemiliknya dan setoran dana tabungan yang tidak dicatat sebesar Rp109,2 juta lebih.

Ketiga terdakwa juga membuat kredit fiktif terhadap 28 orang nasabah yang telah menerima pinjaman dari LPD setempat dengan total Rp432.400.000.

Namun faktanya ke-28 orang itu tidak pernah mengajukan pinjaman dan tidak pernah menerima dana pinjaman dari LPD Suwat. Dalam kasus ini, ketiga terdakwa memiliki peran berbeda.

Untuk terdakwa Ni Made Sutria sebagai kasir atau bendahara bertugas menuliskan nama-nama dan kredit fiktif yang diberikan Raiyoni sebagai Ketua LPD Suwat.

Sementara terdakwa Nilawati bertugas membagi nominal angka pinjaman yang dicantumkan pada masing-masing nama yang akan digunakan sebagai kredit fiktif.

Kemudian, menyesuaikan nominal pada Prima Nota tabungan yang ada di computer dengan buku tabungan nasabah. Sementara terdakwa Raiyoni menandatangani kredit fiktif tersebut. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Made Surya

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017