Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Nomor 20 P HUM/2017 dan 38 P HUM/2016 sudah membatalkan Peraturan Tata Tertib DPD mengenai masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun, sehingga putusan tersebut harus dijalankan oleh anggota DPD maupun oleh DPD secara kelembagaan.
Meskipun awalnya kedua putusan tersebut terdapat salah ketik, namun MA sudah melakukan repoint atau renvoi terhadap putusan tersebut, sehingga tidak perlu perlu ada perdebatan mengenai kekuatan mengikat putusan MA dimaksud. Karena dalam hukum dikenal asas "res judicata pro veritate habetur", yakni putusan hakim harus selalu dianggap benar. Disamping itu, putusan MA tersebut harus dipahami secara substansial dan menyeluruh, yakni bahwa dalam pertimbangan hukum maupun uraian permohonan, memang putusan tersebut merupakan putusan yang ditujukan untuk menguji Tata Tertib DPD.
Terlepas dari kelalaian MA dalam membuat putusan, putusan MA mengenai pembatalan Tatib DPD tersebut bersifat final dan mengikat, karena putusan tersebut merupakan pelaksanaan kewenangan MA dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Tidak ada upaya hukum lagi yang dapat dilakukan untuk membatalkan atau mengubah putusan tersebut.
Oleh karena masa jabatan 2,5 tahun telah diputuskan bertentangan dengan undang-undang, maka masa jabatan pimpinan DPD harus kembali pada masa jabatan lama yakni 5 tahun. Putusan MA tersebut bersifat "reparatoir", yakni mengembalikan suatu keadaan ke keadaan semula, yakni yang awalnya masa jabatan pimpinan DPD itu 5 tahun dikembalikan lagi menjadi 5 tahun setelah sebelumnya ditetapkan 2,5 tahun oleh DPD melalui Tatib yang dibatalkan tersebut.
Putusan pengadilan berlaku secara prospektif, yakni keberlakuannya mulai pada tanggal dibacakan putusan tersebut. Dalam kasus ini, Putusan MA mulai mengikat sejak tanggal 29 Maret 2017, sehingga segala tindakan hukum yang dilakukan oleh DPD yang didasarkan pada Tatib yang telah dibatalkan MA tidak sah, termasuk pemilihan Pimpinan DPD yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017 ini.
Dengan perkataan lain bahwa Pimpinan DPD yang dipilih berdasarkan Tatib yang telah dibatalkan MA itu batal demi hukum atau "nieteg van rechtswege" dan masa jabatan Pimpinan DPD yang lama, oleh dan demi hukum direparatoir atau dikembalikan ke posisi semula, yakni 5 tahun. Termasuk posisi Ketua DPD Mohammad Saleh yang meskipun dalam SK penetapannya sebagai Ketua DPD disebutkan masa jabatannya hanya sampai 31 Maret 2017. Namun karena Mohammad Saleh menggantikan sisa masa jabatan Irman Gusman, maka posisi masa jabatan Mohammad Saleh juga harus direparatoir sesuai dengan masa jabatan Irman Gusman, yakni 5 tahun.
Atas dasar itu, maka Ketua Mahkamah Agung tidak boleh mengambil sumpah pimpinan DPD terpilih tersebut. Selain karena batal demi hukum, pengambilan sumpah tersebut juga akan menurunkan kewibawaan MA sendiri karena MA akan dianggap mengingkari putusan yang telah dibuatnya sendiri.
Anggota KPU dari Parpol
Entah apa yang ada di benak para legislator Senayan dengan mewacanakan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari unsur partai politik (parpol). Rakyat disuguhkan dengan wacana yang sudah 'basi' dan selalu digaungkan disetiap saat akan merevisi undang-undang pemilu.
Rakyat dibuat muak dan bosan dengan perilaku para legislator yang tiada henti mempertontonkan dirinya sebagai oknum dan lembaga yang paling minim kepercayaan publik. Mulai dari rencana revisi UU KPK ditengah sorotan kasus korupsi megaproyek e-KTP, hingga sekarang mewacanakan anggota KPU diisi dari Parpol, wacana yang secara nyata-nyata bertentangan dengan UUD NKRI Tahun 1945 (UUD 1945).
Pasal 22-E ayat (5) UUD 1945 menyatakan: "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan 'mandiri'". Sifat mandiri dari KPU merupakan ruh dari keberadaan komisi ini. Jika ruhnya direnggut, maka sesungguhnya lembaga ini tidak lagi bermakna sebagai sebuah badan atau lembaga yang bersifat netral dalam sebuah proses manifestasi demokrasi.
Dalam konsep hukum, kemandirian atau "zelfstandingheid" bermakna bahwa suatu lembaga/badan/institusi/jabatan tersebut bersifat independen yang bermakna bahwa lembaga/badan/intsitusi/jabatan tersebut bersifat bebas dan tidak bergantung atau tunduk baik secara kelembagaan, struktural, fungsional maupun finansial kepada lembaga manapun.
Dalam konteks ini, kemandirian KPU jelas akan hilang jika komisionernya berasal dari Parpol yang sebenarnya merupakan satu-satunya pihak yang berkepentingan dalam pemilu. Dengan dalih apapun, tidak ada alasan pembenar dengan menempatkan perwakilan Parpol sebagai komisioner KPU, meskipun setiap parpol nantinya akan mendapatkan 'jatah' yang sama.
Perwakilan parpol dalam kenggotaan KPU akan menggerogoti kemandirian atau independensi KPU baik secara strukturural, kelembagaan maupun fungsional karena lembaga yang sejatinya harus netral akan diisi oleh orang-orang yang sarat dengan kepentingan dan subjektifitas, padahal kemandirian itu berkaitan dengan netralitas KPU. Bagaimana mungkin KPU akan netral jika komisionernya diisi oleh pihak yang berkepentingan. Pemilu yang diharapkan dapat berlangsung jujur dan adil sebagaimana diamanatkan Pasal 22-E ayat (2) UUD 1945, akan jauh panggang dari api.
Keadilan hanya dapat diperoleh melalui sebuah proses yang fair dan dilaksanakan oleh lembaga yang fair (netral) pula. Jika lembaganya saja tidak netral, maka bagaimana mungkin mengharapkan proses dan hasil Pemilu yang jujur dan adil. Oleh karena itu, wacana pengisian komisioner KPU dari kalangan Parpol yang diwacanakan oleh politisi-politisi Senayan tersebut merupakan bentuk rencana untuk melanggar konstitusi secara terang-terangan.
Jika DPR yang anggotanya juga merupakan anggota MPR dan notabene merupakan lembaga yang berwenang menyusun dan menetapkan konstitusi sudah secara terang-terangan melanggar konstitusi, maka hal ini merupakan langkah nyata untuk menempatkan konstitusi sebagai dokumen yang tidak suprem atau tidak berderajat tinggi lagi. Jika konstitusi tidak memiliki supremasi, maka suatu pemerintahan dapat digolongkan sebagai pemerintahan yang inkonstitusional, yakni sebuah jenis pemerintahan yang tidak lagi tunduk kepada konstitusi, namun hanya tunduk pada kehendak tirani mayoritas. (*)
----------------
*) Penulis adalah Ahli Hukum Tata Negara FH Universitas Narotama (Unnar) Surabaya yang alumnus doktoral Hukum Tata Negara di FH Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Meskipun awalnya kedua putusan tersebut terdapat salah ketik, namun MA sudah melakukan repoint atau renvoi terhadap putusan tersebut, sehingga tidak perlu perlu ada perdebatan mengenai kekuatan mengikat putusan MA dimaksud. Karena dalam hukum dikenal asas "res judicata pro veritate habetur", yakni putusan hakim harus selalu dianggap benar. Disamping itu, putusan MA tersebut harus dipahami secara substansial dan menyeluruh, yakni bahwa dalam pertimbangan hukum maupun uraian permohonan, memang putusan tersebut merupakan putusan yang ditujukan untuk menguji Tata Tertib DPD.
Terlepas dari kelalaian MA dalam membuat putusan, putusan MA mengenai pembatalan Tatib DPD tersebut bersifat final dan mengikat, karena putusan tersebut merupakan pelaksanaan kewenangan MA dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang sesuai Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Tidak ada upaya hukum lagi yang dapat dilakukan untuk membatalkan atau mengubah putusan tersebut.
Oleh karena masa jabatan 2,5 tahun telah diputuskan bertentangan dengan undang-undang, maka masa jabatan pimpinan DPD harus kembali pada masa jabatan lama yakni 5 tahun. Putusan MA tersebut bersifat "reparatoir", yakni mengembalikan suatu keadaan ke keadaan semula, yakni yang awalnya masa jabatan pimpinan DPD itu 5 tahun dikembalikan lagi menjadi 5 tahun setelah sebelumnya ditetapkan 2,5 tahun oleh DPD melalui Tatib yang dibatalkan tersebut.
Putusan pengadilan berlaku secara prospektif, yakni keberlakuannya mulai pada tanggal dibacakan putusan tersebut. Dalam kasus ini, Putusan MA mulai mengikat sejak tanggal 29 Maret 2017, sehingga segala tindakan hukum yang dilakukan oleh DPD yang didasarkan pada Tatib yang telah dibatalkan MA tidak sah, termasuk pemilihan Pimpinan DPD yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017 ini.
Dengan perkataan lain bahwa Pimpinan DPD yang dipilih berdasarkan Tatib yang telah dibatalkan MA itu batal demi hukum atau "nieteg van rechtswege" dan masa jabatan Pimpinan DPD yang lama, oleh dan demi hukum direparatoir atau dikembalikan ke posisi semula, yakni 5 tahun. Termasuk posisi Ketua DPD Mohammad Saleh yang meskipun dalam SK penetapannya sebagai Ketua DPD disebutkan masa jabatannya hanya sampai 31 Maret 2017. Namun karena Mohammad Saleh menggantikan sisa masa jabatan Irman Gusman, maka posisi masa jabatan Mohammad Saleh juga harus direparatoir sesuai dengan masa jabatan Irman Gusman, yakni 5 tahun.
Atas dasar itu, maka Ketua Mahkamah Agung tidak boleh mengambil sumpah pimpinan DPD terpilih tersebut. Selain karena batal demi hukum, pengambilan sumpah tersebut juga akan menurunkan kewibawaan MA sendiri karena MA akan dianggap mengingkari putusan yang telah dibuatnya sendiri.
Anggota KPU dari Parpol
Entah apa yang ada di benak para legislator Senayan dengan mewacanakan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari unsur partai politik (parpol). Rakyat disuguhkan dengan wacana yang sudah 'basi' dan selalu digaungkan disetiap saat akan merevisi undang-undang pemilu.
Rakyat dibuat muak dan bosan dengan perilaku para legislator yang tiada henti mempertontonkan dirinya sebagai oknum dan lembaga yang paling minim kepercayaan publik. Mulai dari rencana revisi UU KPK ditengah sorotan kasus korupsi megaproyek e-KTP, hingga sekarang mewacanakan anggota KPU diisi dari Parpol, wacana yang secara nyata-nyata bertentangan dengan UUD NKRI Tahun 1945 (UUD 1945).
Pasal 22-E ayat (5) UUD 1945 menyatakan: "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan 'mandiri'". Sifat mandiri dari KPU merupakan ruh dari keberadaan komisi ini. Jika ruhnya direnggut, maka sesungguhnya lembaga ini tidak lagi bermakna sebagai sebuah badan atau lembaga yang bersifat netral dalam sebuah proses manifestasi demokrasi.
Dalam konsep hukum, kemandirian atau "zelfstandingheid" bermakna bahwa suatu lembaga/badan/institusi/jabatan tersebut bersifat independen yang bermakna bahwa lembaga/badan/intsitusi/jabatan tersebut bersifat bebas dan tidak bergantung atau tunduk baik secara kelembagaan, struktural, fungsional maupun finansial kepada lembaga manapun.
Dalam konteks ini, kemandirian KPU jelas akan hilang jika komisionernya berasal dari Parpol yang sebenarnya merupakan satu-satunya pihak yang berkepentingan dalam pemilu. Dengan dalih apapun, tidak ada alasan pembenar dengan menempatkan perwakilan Parpol sebagai komisioner KPU, meskipun setiap parpol nantinya akan mendapatkan 'jatah' yang sama.
Perwakilan parpol dalam kenggotaan KPU akan menggerogoti kemandirian atau independensi KPU baik secara strukturural, kelembagaan maupun fungsional karena lembaga yang sejatinya harus netral akan diisi oleh orang-orang yang sarat dengan kepentingan dan subjektifitas, padahal kemandirian itu berkaitan dengan netralitas KPU. Bagaimana mungkin KPU akan netral jika komisionernya diisi oleh pihak yang berkepentingan. Pemilu yang diharapkan dapat berlangsung jujur dan adil sebagaimana diamanatkan Pasal 22-E ayat (2) UUD 1945, akan jauh panggang dari api.
Keadilan hanya dapat diperoleh melalui sebuah proses yang fair dan dilaksanakan oleh lembaga yang fair (netral) pula. Jika lembaganya saja tidak netral, maka bagaimana mungkin mengharapkan proses dan hasil Pemilu yang jujur dan adil. Oleh karena itu, wacana pengisian komisioner KPU dari kalangan Parpol yang diwacanakan oleh politisi-politisi Senayan tersebut merupakan bentuk rencana untuk melanggar konstitusi secara terang-terangan.
Jika DPR yang anggotanya juga merupakan anggota MPR dan notabene merupakan lembaga yang berwenang menyusun dan menetapkan konstitusi sudah secara terang-terangan melanggar konstitusi, maka hal ini merupakan langkah nyata untuk menempatkan konstitusi sebagai dokumen yang tidak suprem atau tidak berderajat tinggi lagi. Jika konstitusi tidak memiliki supremasi, maka suatu pemerintahan dapat digolongkan sebagai pemerintahan yang inkonstitusional, yakni sebuah jenis pemerintahan yang tidak lagi tunduk kepada konstitusi, namun hanya tunduk pada kehendak tirani mayoritas. (*)
----------------
*) Penulis adalah Ahli Hukum Tata Negara FH Universitas Narotama (Unnar) Surabaya yang alumnus doktoral Hukum Tata Negara di FH Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017