Denpasar (Antara Bali) - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Bali mengaku masih menghadapi kendala dalam menerapkan kebijakan Kementerian Perdagangan terkait harga eceran tertinggi bahan pangan gula dan minyak goreng karena harga beli di distributor belum sesuai dengan kebijakan itu.

"Salah satu contoh adalah gula 'branded' (bermerek) yang kami sinyalir harus dijual rugi oleh para peritel, karena distributor tidak mau ikut menanggung kerugian akibat selisih harga beli peritel di distributor dengan harga jual peritel di konsumen," kata Ketua Aprindo Bali Gusti Ketut Sumardayasa di Denpasar, Senin.

Kebijakan itu, lanjut dia, masih menjadi pertanyaan di kalangan para peritel di Bali lantaran harga beli distributor yang belum terkejar dengan harga yang diwajibkan pemerintah itu.

Sekretaris Aprindo Bali I Made Abdi Negara menyadari bahwa kebijakan pemerintah sudah tentu berdasarkan atas kajian yang mendalam, termasuk dalam hal mendorong persaingan usaha yang sehat dan mencegah sistem kartel yang bisa merugikan konsumen.

Namun ia juga menekankan untuk mengakomodir semua pihak, termasuk memberikan ruang temu bagi pihak ritel yang saling berhubungan mulai produsen, distributor hingga peritel sehingga kebijakan bisa diimplementasikan sesuai tujuan pemerintah.

"Ini yang harus dilakukan oleh Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sebagai bagian dari fungsi pemerintah sebagai mediator sekaligus regulator, jika tidak ingin aturan atau kebijakan yang diambil malah menekan proses pertumbuhan dan kemudahan berbisnis sesuai visi Presiden Joko Widodo," ucap pengusaha kuliner Keramas Aero Park itu.

Wakil Ketua Aprindo Bali Anak Agung Ngurah Agung Agra Putra menambahkan peritel pada dasarnya siap mengikuti segala kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, namun di tataran pelaksanaan harus jelas dan berkeadilan.

"Akses dan kekuatan negosiasi peritel lokal tentu jauh berbeda dengan peritel nasional, disinilah pentingnya pemerintah memberikan ruang yang lebih kepada peritel lokal untuk dapat mengimplementasikan kebijakan yang dikeluarkan," jelasnya.

Mengenai harga eceran tertinggi gula, lanjut dia, harus membuat peritel rugi untuk gula kategori "branded" karena pemasok cenderung tidak mau ikut menanggung kerugian atas stok gula yang ada di peritel.

"Disinilah penting kebijakan yang berkeadilan, selain memang harus memiliki kepastian hukum. Kami mengusulkan, penting dikaji misalnya untuk kebijakan ini diikuti dengan kebijakan untuk memberikan peritel lokal semacam insentif atau kemudahan sehingga berimbang," ujarnya.

Pemberian kebijakan insentif bagi peritel lokal ini menurutnya wajar, mengingat dalam kebijakan itu ada pengecualian misalnya untuk harga daging premium.

Menurut Agung, perhitungan di tataran peritel tidak bisa sederhana hanya menghitung selisih semata karena di selisih tersebut ada biaya lain seperti pajak, distribusi barang, tenaga kerja, penyusutan, biaya kehilangan dan biaya-biaya lain yang termasuk dalam biaya operasional.

Mulai 10 April 2017 Kementerian Perdagangan menerapkan kewajiban toko ritel modern dan distributor menerapkan harga eceran tertinggi untuk gula semua jenis sebesar Rp12.500 per kilogram, minyak goreng Rp11.000 per kilogram dan daging beku asal India sebesar Rp80.000 per kilogram.(DWA)

Pewarta: Pewarta: Dewa Wiguna

Editor : Dewa Sudiarta Wiguna


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017