Denpasar (Antara Bali) - Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Pemerintah Provinsi Bali membebaskan biaya
visum dari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa warga setempat.
"Pembebasan biaya visum dari kasus KDRT tersebut untuk mempermudah proses hukum bila terjadi kekerasan, terutama yang menimpa perempuan dan ibu rumah tangga," kata Kepala BP3A Provinsi Bali Luh Putu Haryani di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, langkah itu merupakan salah satu komitmen Pemprov Bali melalui BP3A untuk meminimalisasi kejadian KDRT, sehingga proses hukumnya bisa dilaksanakan lebih cepat.
"Apalagi kasus KDRT tersebut biasanya menimpa masyarakat kecil dan kurang mampu, sehingga mereka biasanya tidak memiliki biaya untuk visum guna melengkapi laporan ke polisi," katanya.
Menurut Haryani, seluruh RSUD yang ada di kabupaten dan kota di Bali sudah diinstruksikan untuk membebaskan biaya visum KDRT sesuai permintaan pihak penegak hukum.
"Seluruh biaya visum yang terkait dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga dibiayai APBD kabupaten dan kota, berapa pun besarnya," ucapnya.
Pihaknya berharap seluruh RSUD di kabupaten/kota dan RSUP Sanglah siap memfasilitasi visum KDRT serta melakukan penghitungan yang jujur, karena seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah.
Dikatakan, Pemerintah Provinsi Bali melakukan hal tersebut dengan tujuan agar bila terjadi KDRT maka diharapkan segera melaporkan kasus tersebut untuk dilakukan proses hukum selanjutnya.
Berdasarkan data tahun 2009, di Bali terjadi 117 kasus seperti penganiayaan, persetubuhan, paedofilia, pencabulan, pencurian dan pemerkosaan.
Dari kasus tersebut yang paling tinggi adalah korban kekerasan seksual sebanyak 41 kasus.
Untuk tahun 2010 naik menjadi 120 kasus, terbanyak korban kekerasan seksual, mencapai 67 kejadian.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
visum dari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa warga setempat.
"Pembebasan biaya visum dari kasus KDRT tersebut untuk mempermudah proses hukum bila terjadi kekerasan, terutama yang menimpa perempuan dan ibu rumah tangga," kata Kepala BP3A Provinsi Bali Luh Putu Haryani di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, langkah itu merupakan salah satu komitmen Pemprov Bali melalui BP3A untuk meminimalisasi kejadian KDRT, sehingga proses hukumnya bisa dilaksanakan lebih cepat.
"Apalagi kasus KDRT tersebut biasanya menimpa masyarakat kecil dan kurang mampu, sehingga mereka biasanya tidak memiliki biaya untuk visum guna melengkapi laporan ke polisi," katanya.
Menurut Haryani, seluruh RSUD yang ada di kabupaten dan kota di Bali sudah diinstruksikan untuk membebaskan biaya visum KDRT sesuai permintaan pihak penegak hukum.
"Seluruh biaya visum yang terkait dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga dibiayai APBD kabupaten dan kota, berapa pun besarnya," ucapnya.
Pihaknya berharap seluruh RSUD di kabupaten/kota dan RSUP Sanglah siap memfasilitasi visum KDRT serta melakukan penghitungan yang jujur, karena seluruh pembiayaan ditanggung pemerintah.
Dikatakan, Pemerintah Provinsi Bali melakukan hal tersebut dengan tujuan agar bila terjadi KDRT maka diharapkan segera melaporkan kasus tersebut untuk dilakukan proses hukum selanjutnya.
Berdasarkan data tahun 2009, di Bali terjadi 117 kasus seperti penganiayaan, persetubuhan, paedofilia, pencabulan, pencurian dan pemerkosaan.
Dari kasus tersebut yang paling tinggi adalah korban kekerasan seksual sebanyak 41 kasus.
Untuk tahun 2010 naik menjadi 120 kasus, terbanyak korban kekerasan seksual, mencapai 67 kejadian.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011