Jakarta (Antara Bali) - Internet kini sudah menjadi sebuah dunia maya tanpa batas yang membuat setiap penggunanya bebas mengunggah berbagai konten baik yang legal ataupun ilegal.

Konten pornografi merupakan salah satu konten yang banyak terdapat di internet meskipun di beberapa negara, pornografi termasuk legal. Namun, penyebaran konten pornografi yang melibatkan anak-anak di bawah umur merupakan hal yang ilegal di negara mana pun. Lebih parahnya lagi, beberapa konten ilegal tersebut disebarkan di grup media sosial yang dibuat oleh pelaku asal Indonesia.

Anggota Polda Metro Jaya mengungkap praktik prostitusi khusus anak di bawah usia atau pedofilia secara dalam jaringan (daring) melalui media sosial dengan akun "Official Loly Candy's Group 18+".

Akun grup itu dibuat pada bulan September 2014 dengan jumlah anggota mencapai 7.497 orang yang menampilkan foto porno anak di bawah usia.

Petugas pun meringkus empat pelaku dalam kasus tersebut, yakni M. Bahrul Ulum alias (MBU) alias Wawan alias Snorlax (25), DS alias Illu Inaya alias Alicexandria (27), SHDW alias Siha Dwiti (16), dan DF alias T-Day (17).

Kepala Subdirektorat Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi Roberto Pasaribu mengatakan bahwa pengungkapan kasus pedofilia secara "online" atau daring dengan akun Facebook "Official Loly Candy's 18+" itu sebagai tanda Indonesia menjadi sasaran pemangsa kekerasan seksual terhadap anak.

"Indonesia masih ladang subur untuk pedofil (pelaku pedofilia)," kata Roberto.

Polda Metro Jaya mengungkapkan salah satu pedofil secara online M. Bahrul Ulum alias Wawan alias Snorlax (25) terhubung dengan jaringan internasional.

"Ada sekitar 11 grup yang tergabung sindikat (pedofil) internasional," katanya.

Ia mengatakan bahwa Wawan mengelola akun grup Facebook "Official Loly Candy's 18+" yang terhubung dengan jaringan internasional melalui WhatsApp dan telegram pada sejumlah negara seperti Argentina dan Peru.

Terkait dengan hal ini, Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Federal Bureau of Investigation (FBI) guna menelusuri kelompok pedofilia itu.

Berdasarkan penyidikan terungkap terdapat 500 video dan 100 foto berkonten kekerasan terhadap anak pada akun grup Facebook itu.

"Kami masih analisis apakah foto itu dari Asia atau negara lain," ujar Roberto.

Polda Metro Jaya saat ini masih melacak korban lain yang diduga menjadi sasaran pedofil melalui akun media sosial (Facebook) "Official Loly Candy's 18+".

"Ada kemungkinan korban bertambah," katanya.

Roberto mengatakan sejauh ini penyidik kepolisian telah mengidentifikasi delapan anak yang menjadi korban kekerasan seksual kelompok pedofilia yang diinisiasi tersangka MBU alias Wawan alias Snorlax (25).

Polri pun bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengungkap dugaan adanya sejumlah grup selain akun "Official Loly Candy's Group 18+" di media sosial yang terlibat kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah usia (pedofil).

"Kerja sama dengan Kemkominfo. Kalau ada yang terindikasi kejahatan pedofilia, langsung blokir," kata Kadivhumas Polri Irjen Pol. Boy Rafli Amar.

Kadivhumas pun mengimbau peran aktif netizen untuk melapor bila mengetahui adanya aktivitas di sosial media yang tidak wajar.

"Bagi masyarakat yang menemukan, segera sampaikan kasus kejahatan pedofil ke polisi untuk diselidiki di dunia siber," kata Irjen Boy.


Dihukum Berat

Sementara menanggapi kasus ini, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi mengatakan bahwa kejahatan asusila pada anak (pedofilia) bisa mengancam keberlangsungan hidup umat manusia.

"MUI sangat prihatin dengan makin maraknya kejahatan asusila terhadap anak-anak," kata Zainut.

Ia mengatakan bahwa kejahatan kepada anak tergolong kriminalitas luar biasa. Maka, Pemerintah harus memberikan perhatian serius kepada hal itu dan penegak hukum memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelakunya.

Menurut dia, kejahatan pedofilia tampak sudah melibatkan banyak jaringan, baik dalam maupun luar negeri, serta dilakukan secara masif dan terorganisasi, baik melalui jaringan media sosial maupun jaringan media informasi lainnya.

Ia berpendapat bahwa penanganan kasus tersebut harus melibatkan semua pihak, baik aparat kepolisian maupun aparat kementerian terkait.

"Jujur saya miris dengan kejahatan yang satu ini. Berbagai macam cara dilakukan penjahat seks untuk melancarkan aksi mereka. Salah satunya dengan membuka bisnis prostitusi dengan memanfaatkan perkembangan media sosial," katanya.

Lebih menyedihkan lagi, kata dia, prostitusi daring kerap digunakan, termasuk melibatkan anak-anak di bawah umur. Anak-anak malang itu menjadi korban demi memuaskan nafsu bejat para pedofil.

Ia mengatakan korban kekerasan seksual bukan saja meninggalkan trauma berat dan berkepanjangan, melainkan juga bisa memicu kelainan seksual anak saat beranjak dewasa, menjadi gay atau pedofil seperti yang banyak terjadi pada korban sodomi.

Maka, lanjut dia, MUI setuju diberlakukannya pemberatan hukuman terhadap pelaku. Jika hukumannya ringan, tidak ada efek jera bagi para pelaku.

"MUI mengutuk keras para penjahat seksual anak ini dan meminta pemerintah serius mengatasinya," kata dia.


Facebook Jangan Lepas Tangan

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Facebook sebagai penyedia jasa ikut bertanggung jawab atas keberadaan grup "Lolly Candy".

Sebagai rumah dari grup "Lolly Candy", kata Ketua KPAI Asrorun Niam, Facebook tidak bisa begitu saja lepas tangan. Akan tetapi, harus memastikan untuk apa dan siapa saja pengguna layanannya.

"Harus ada patroli internal untuk memastikan di dalamnya terbebas dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum," kata Niam.

Jika konten negatif ini tetap ada dan terus berulang, tak menutup kemungkinan ada pembiaran dari layanan sosial media itu.

"Itu ada konsekuensi hukum (kalau ada pembiaran). Dalam waktu dekat akan ada pemanggilan secara khusus terhadap facebook untuk berdiskusi dalam rangka menjalankan perlindungan anak," katanya lagi.

Apalagi, menurut dia, beredarnya konten negatif lewat media sosial, seperti Facebook, bukan kali ini saja terjadi. Pasalnya, belum lama ini ada juga perdagangan anak untuk prostitusi yang dilakukan lewat media sosial.

Niam mengatakan bahwa pemanggilan yang dilakukan pihaknya bertujuan agar hal-hal seperti ini tidak terus berulang.

"Harus ada kesadaran bersama. Kami undang Facebook dan penyedia konten sejenis untuk membangun kesadaran kolektif. Enggak bisa Facebook atau Twitter menyediakan kemudian lepas tanggung jawab," katanya.

Ia juga meminta penegak hukum menggunakan instrumen hukum yang sudah ada, termasuk melaksanakan komitmen Presiden RI Jokowi yang menjadikan kejahatan anak sebagai kejahatan luar biasa dengan adanya perpu yang diundangakan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

"Salah satunya lewat kebiri dan hukuman mati yang sudah diatur dalam instrumen itu untuk menjerakan dan upaya perlindungan anak," katanya.

KPAI juga memuji masyarakat yang melaporkan kasus ini dan ditangani dengan baik oleh aparat.

Ia juga terus mendorong agar kesadaran seperti ini terus dipupuk untuk mencegah kejahatan berbasis siber.

"Pihak terkait juga hendaknya melakukan rehabilitasi jangka pendek. Bahwa dari 7.000 sekian yang disebut Polda Metro Jaya harus diidentifikasi, baik korban yang sudah jadi korban tindak kejahatannya maupun korban yang tidak tahu fotonya telah diambil diam-diam. Ini dilakukan agar ada prioritas penanganan," ucapnya.

Kemajuan teknologi membuat semua pihak harus lebih waspada mengingat makin banyaknya para pelaku kejahatan yang berkumpul di dunia maya untuk saling berbagi informasi mengenai kejahatan yang mereka lakukan.

Kasus ini menjadi peringatan bagi pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat untuk meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak yang rentan menjadi korban kejahatan seksual. Tidak kalah pentingnya, penegak hukum diharapkan mampu memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak agar menjadi jera dan mengurangi kemungkinan terjadinya kejahatan serupa. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Anita Permata Dewi

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017