Denpasar (Antara Bali) - Iring-iringan barong, rangda dan benda-benda sakral yang disucikan di pura dalam lingkungan Desa adat di wilayah Kota Denpasar dan sekitarnya mewarnai pelaksanaan ritual melasti di Pantai Padangbalak, Sanur, Jumat.

Berbagai jenis "pratime" dan benda sakral lainnya diusung ke pantai dengan iringan alunan instrumen musik tradisional Bali (gong blaganjur) yang bertalu-talu.

Ribuan warga dengan mengenakan busana adat Bali nominasi warna putih dan kuning itu ikut ambil bagian dalam kegiatan ritual tersebut yang menjadi daya tarik tersendiri bari wisatawan mancanegara yang sedang menikmati liburan di Pulau Dewata.

Sebagian besar desa adat (pekraman) di Kota Denpasar dan sekitarnya melaksanakan kegiatan Melasti itu ke Pantai Padanggalak, Sanur maupun Pantai Kuta, Kabupaten Badung.

Kegiatan ritual Melasti tersebut secara spritual bermakna untuk membersihkan rangda, barong, "pratime" dan benda-benda lainnya disakralkan di Pura Desa Bale Agung, Puseh dan Pura Dalem di masing-masing desa adat.

Iring-iringan prime tersebut sebelumnya diangkutan dengan menggunakan truk, namun desa adat yang berlokasi di pinggir pantai dengan berjalan kaki. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh 1.480 desa adat di Pulau Dewata, serangkan Hari Suci Nyepi tahun baru saka 1939 yang jatuh pada hari Selasa (28/3).

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu di Bali sebenarnya menetapkan waktu tiga hari, 25-27 Maret 2017 bagi seluruh desa pekraman (adat) untuk melaksanakan Melasti.

Masing-masing desa pekraman dapat memilih salah satu dari tiga hari baik yang telah ditetapkan itu atau disesuaikan tempat, waktu dan keadaan (desa kala patra) desa adat bersangkutan.

Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi menjelaskan, kegiatan melasti itu dipimpin dan diatur oleh prajuru (pengurus) desa adat masing-masing, dengan menekankan ketertiban, kelancaran dan keamanan di jalan raya.

Melasti selain dilaksanakan ke pantai juga juga dilakukan ke danau bagi masyarakat yang bermukim di pegunungan atau sumber mata air terdekat yang desa adat yang jauh dari pantai maupun danau.

Ngurah Sudiana menambahkan, setelah "Melasti", masing-masing desa adat melakukan "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat masing-masing, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Senin, 27 Maret 2017, sehari menjelang Nyepi.

"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.

Kegiatan ritual tersebut bermakna untuk meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama umat manusia dan manusia dengan lingkungan.

"Tawur Kesanga" itu berakhir pada petang hari dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralisir semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yakni roh atau makluk yang tidak kelihatan secara kasat mata.

Keesokan harinya, Selasa, 28 Maret 2017, umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1939 dengan melaksanakan "Catur Brata" Penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.

Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (amati lelanguan). (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017