Jakarta (Antara Bali) - Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Prof. Budyatna mempertanyakan rencana Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang akan menerapkan sistem Integrated Box Office System (IBOS) pada perfilman tanah air.
Menurut Budyatna di Jakarta, Minggu, sistem yang diperoleh melalui hibah Korea Selatan sebesar 5,5 juta dolar AS tersebut, banyak menuai kecaman karena IBOS mengharuskan industri bioskop membuka semua data secara terbuka seperti jadwal penayangan film, hingga jumlah penonton.
"Ini kan tidak benar. Yang namanya hibah, dimana-mana tidak perlu syarat macam-macam. Ini kok malah mau mengintervensi bangsa kita. Harus ditolak itu," katanya melalui keterangan tertulis.
Sebelumnya, Ketua Bekraf Triawan Munaf mengatakan, melalui IBOS, semua data yang berhubungan dengan bioskop di Indonesia memang harus dibuka. Dia menyatakan, IBOS sudah berlaku di seluruh dunia.
Namun Budyatna membantah pernyataan tersebut, sebab hanya Korsel yang memberlakukan sistem itu.
Sementara itu anggota Komisi X DPR Sofyan Tan menyatakan, saat ini daya serap anggaran Bekraf masih rendah sehingga patut dipertanyakan dengan dana hibah dari Korea untuk sistem IBOS tersebut.
Menurut dia, sebaiknya Bekraf memanfaatkan anggaran yang sudah disetujui DPR, sebab jika lembaga itu memanfaatkan anggaran tersebut sebaik-baiknya, maka seluruh program dan kegiatan akan berjalan, bukan hanya film.
Badan negara tersebut saat ini ditugasi menangani 16 subsektor ekonomi kreatif yakni Film, Animasi, dan Video, Aplikasi dan Pengembang Permainan, Arsitektur, Desain Interior, Desain Komunikasi Visual, Desain Produk, dan Fashion. Selain itu, juga Fotografi, Kriya, Kuliner, Musik, Penerbitan, Senirupa, serta Televisi dan Radio.
Sofyan menambahkan, jika Bekraf mengoptimalkan anggaran yang diberikan, tentu seluruh subsektor yang ditangani akan berjalan, termasuk film. Menurut dia, di bidang film Bekraf bisa semakin meningkatkan kreativitas anak bangsa, bukan sebaliknya, menelanjangi industri perfilman di depan bangsa asing, dalam hal ini Korea melalui sistem IBOS. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Menurut Budyatna di Jakarta, Minggu, sistem yang diperoleh melalui hibah Korea Selatan sebesar 5,5 juta dolar AS tersebut, banyak menuai kecaman karena IBOS mengharuskan industri bioskop membuka semua data secara terbuka seperti jadwal penayangan film, hingga jumlah penonton.
"Ini kan tidak benar. Yang namanya hibah, dimana-mana tidak perlu syarat macam-macam. Ini kok malah mau mengintervensi bangsa kita. Harus ditolak itu," katanya melalui keterangan tertulis.
Sebelumnya, Ketua Bekraf Triawan Munaf mengatakan, melalui IBOS, semua data yang berhubungan dengan bioskop di Indonesia memang harus dibuka. Dia menyatakan, IBOS sudah berlaku di seluruh dunia.
Namun Budyatna membantah pernyataan tersebut, sebab hanya Korsel yang memberlakukan sistem itu.
Sementara itu anggota Komisi X DPR Sofyan Tan menyatakan, saat ini daya serap anggaran Bekraf masih rendah sehingga patut dipertanyakan dengan dana hibah dari Korea untuk sistem IBOS tersebut.
Menurut dia, sebaiknya Bekraf memanfaatkan anggaran yang sudah disetujui DPR, sebab jika lembaga itu memanfaatkan anggaran tersebut sebaik-baiknya, maka seluruh program dan kegiatan akan berjalan, bukan hanya film.
Badan negara tersebut saat ini ditugasi menangani 16 subsektor ekonomi kreatif yakni Film, Animasi, dan Video, Aplikasi dan Pengembang Permainan, Arsitektur, Desain Interior, Desain Komunikasi Visual, Desain Produk, dan Fashion. Selain itu, juga Fotografi, Kriya, Kuliner, Musik, Penerbitan, Senirupa, serta Televisi dan Radio.
Sofyan menambahkan, jika Bekraf mengoptimalkan anggaran yang diberikan, tentu seluruh subsektor yang ditangani akan berjalan, termasuk film. Menurut dia, di bidang film Bekraf bisa semakin meningkatkan kreativitas anak bangsa, bukan sebaliknya, menelanjangi industri perfilman di depan bangsa asing, dalam hal ini Korea melalui sistem IBOS. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017