Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar menayangkan film Bali tahun 1928 disertai kegiatan dialog.
"Tayangan film yang terangkum dalam Bali Tempo Doeloe mengusung tema Air: Harmoni Bumi dan Diri," kata penata acara tersebut Juwitta K. Lasut di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, dua pembicara yang tampil dalam dialog tersebut Koordinator Arsip Bali 1928 Marlowe M. Bandem dan Dosen Jurusan Biologi Universitas Udayana Drs Deny Suhernawan Yusup, MSc.
Kedua pembicara akan membahas seputar Air sebagai bagian dari memori kultural masyakarat Bali serta upaya-upaya pemuliaan dan konservasinya kini.
Air sebagai sumber kehidupan, masyarakat Bali juga memaknai sebagai simbol penyucian dan pembersihan. Tirtha atau Air Suci merupakan sarana pokok dalam pelaksanaan kegiatan dan upacara di Bali.
"Pada waktu-waktu tertentu, masyarakat Bali juga melakukan ritual `melukat` guna menyucikan jiwa-raga di sumber-sumber mata air, seperti laut, sungai atau pancuran," ujar Juwitta K Lasut.
Bahkan, pada peninggalan arkeologi dan jejak historis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan serta Petanu Kabupaten Gianyar mencerminkan kepercayaan masyarakat Bali yang pada beberapa teks lontar sering disebut agama Tirtha.
Dengan demikian air merupakan unsur penting dalam setiap ritual upacara dan agama. Hal itu tercermin pada sejumlah candi yang dapat ditemui di seputar lokasi DAS Pekerisan dan Petani seperti Candi Gunung Kawi, Candi Kerobokan, Candi Kelebutan dan Candi Jukut Paku.
Juwitta menambahkan, di tengah upaya memuliakan Air, juga mendapat kenyataan bahwa air telah dianggap seperti komoditas dengan wacana sosio-ekonomi yang menyertainya, semisal debit air bersih di perkotaan, pencemaran di hulu maupun muara dan abrasi kawasan pesisir.
"Penghormatan terhadap air, sang sedulur yang menghidupi manusia dan makhluk lainnya, diuji oleh arus perubahan yang membutuhkan sikap konkrit atas upaya-upaya pelestariannya," ujar Juwitta.
Penayangan film Bali 1928 didukung oleh STMIK STIKOM Bali dan Arbiter Cultural Traditions. Menurut Marlowe Bandem yang juga Koordinator Arsip Bali 1928 di Indonesia, dalam pemutaran film tersebut menayangkan cuplikan-cuplikan rekaman bersejarah Bali masa tahun 1930-an.
Gambar-gambar tersebut bersumber dari film-film Colin Mcphee, Miguel Covarrubias, Rolf de Mare dan Jane Belo yang merupakan hasil repatriasi Arsip Bali 1928.
"Terangkum dalam cuplikan-cuplikan film tersebut berbagai panorama alam dan upacara keagamaan Hindu Dharma yang merupakan `perayaan' akan dimensi Air di Bali. Termasuk cuplikan `kawi agung' Bali, Ida Pedanda Made Sidemen yang melakukan prosesi Nyurya Sewana," ungkap Marlowe Bandem.
Bali Tempo Doeloe adalah sebuah agenda yang memutar seri-seri dokumenter tentang Bali Tempo Doeloe, dipadukan dengan diskusi bersama para pengamat dan pemerhati budaya, dalam memaknai perubahan kondisi Bali dari masa ke masa. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Tayangan film yang terangkum dalam Bali Tempo Doeloe mengusung tema Air: Harmoni Bumi dan Diri," kata penata acara tersebut Juwitta K. Lasut di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, dua pembicara yang tampil dalam dialog tersebut Koordinator Arsip Bali 1928 Marlowe M. Bandem dan Dosen Jurusan Biologi Universitas Udayana Drs Deny Suhernawan Yusup, MSc.
Kedua pembicara akan membahas seputar Air sebagai bagian dari memori kultural masyakarat Bali serta upaya-upaya pemuliaan dan konservasinya kini.
Air sebagai sumber kehidupan, masyarakat Bali juga memaknai sebagai simbol penyucian dan pembersihan. Tirtha atau Air Suci merupakan sarana pokok dalam pelaksanaan kegiatan dan upacara di Bali.
"Pada waktu-waktu tertentu, masyarakat Bali juga melakukan ritual `melukat` guna menyucikan jiwa-raga di sumber-sumber mata air, seperti laut, sungai atau pancuran," ujar Juwitta K Lasut.
Bahkan, pada peninggalan arkeologi dan jejak historis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan serta Petanu Kabupaten Gianyar mencerminkan kepercayaan masyarakat Bali yang pada beberapa teks lontar sering disebut agama Tirtha.
Dengan demikian air merupakan unsur penting dalam setiap ritual upacara dan agama. Hal itu tercermin pada sejumlah candi yang dapat ditemui di seputar lokasi DAS Pekerisan dan Petani seperti Candi Gunung Kawi, Candi Kerobokan, Candi Kelebutan dan Candi Jukut Paku.
Juwitta menambahkan, di tengah upaya memuliakan Air, juga mendapat kenyataan bahwa air telah dianggap seperti komoditas dengan wacana sosio-ekonomi yang menyertainya, semisal debit air bersih di perkotaan, pencemaran di hulu maupun muara dan abrasi kawasan pesisir.
"Penghormatan terhadap air, sang sedulur yang menghidupi manusia dan makhluk lainnya, diuji oleh arus perubahan yang membutuhkan sikap konkrit atas upaya-upaya pelestariannya," ujar Juwitta.
Penayangan film Bali 1928 didukung oleh STMIK STIKOM Bali dan Arbiter Cultural Traditions. Menurut Marlowe Bandem yang juga Koordinator Arsip Bali 1928 di Indonesia, dalam pemutaran film tersebut menayangkan cuplikan-cuplikan rekaman bersejarah Bali masa tahun 1930-an.
Gambar-gambar tersebut bersumber dari film-film Colin Mcphee, Miguel Covarrubias, Rolf de Mare dan Jane Belo yang merupakan hasil repatriasi Arsip Bali 1928.
"Terangkum dalam cuplikan-cuplikan film tersebut berbagai panorama alam dan upacara keagamaan Hindu Dharma yang merupakan `perayaan' akan dimensi Air di Bali. Termasuk cuplikan `kawi agung' Bali, Ida Pedanda Made Sidemen yang melakukan prosesi Nyurya Sewana," ungkap Marlowe Bandem.
Bali Tempo Doeloe adalah sebuah agenda yang memutar seri-seri dokumenter tentang Bali Tempo Doeloe, dipadukan dengan diskusi bersama para pengamat dan pemerhati budaya, dalam memaknai perubahan kondisi Bali dari masa ke masa. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017