Denpasar (Antara Bali) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Provinsi Bali mengajak para pengusaha di daerah itu untuk tidak tergiur membangun "city hotel" atau hotel dengan konsep perkotaan, di tengah pergeseran tren wisatawan.

"Ada penurunan okupansi pada 2016 rata-rata delapan persen di hotel berbintang, tetapi peningkatan empat persen di homestay dan vila," kata Ketua PHRI Provinsi Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, di Denpasar, Senin.

Menurut dia, dengan melihat data tersebut, artinya ada kecenderungan wisatawan untuk tinggal di homestay karena ada pergeseran tren kunjungan wisatawan dari pariwisata berbasis layanan (services based tourism) menuju pariwisata berbasis pengetahuan (knowledge based tourism) karena mereka bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal.

Pria yang akrab dipanggil Cok Ace itu menambahkan, pergeseran tren tersebut juga telah berdasarkan hasil penelitian dari Universitas Indonesia dan Kementerian Pariwisata. Pergeseran sudah terjadi sejak tahun 2000-an dan sebenarnya ini adalah kekuatan Bali yang sedari awal menganggap budaya sebagai daya tarik.

Namun, persoalannya masyarakat dinilai tidak sabar. Seperti halnya pengusaha dan masyarakat di Ubud, Kabupaten Gianyar yang memiliki banyak "homestay".

"Para pengusaha homestay di sana justru tergiur dengan kemajuan city hotel. Mereka lantas meminjam uang ke bank untuk menambah kamar di homestay-nya menjadi 30 sampai 40 kamar. Mereka sudah keluar dari kemampuan yang mereka miliki, ini sangat bahaya sekali," ujar Cok Ace.

Oleh karena itu pihaknya tidak henti-hentinya memberikan penjelasan, biar pun punya enam kamar, kalau terisi semua itu pemasukannya sekitar Rp36 juta perbulan. Lebih bagus punya enam hingga 10 kamar, tetapi riil daripada 60 kamar bersaing sama hotel-hotel bintang satu dan dua.

Di sisi lain, Cok Ace melihat dari aspek atraksi juga demikian karena ada kecenderungan pelaku pariwisata untuk selalu memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini menurutnya bahaya, kendati saat berbicara budaya sebagai daya tarik Bali sebetulnya ada persoalan dengan kualitas destinasi atau objek-objek wisata.

"Kita bisa lihat Kintamani, Ubud dengan kemacetannya. Dari airport, dari Nusa Dua orang ke Ubud butuh waktu dua jam. Ke Lombok hanya perlu 30 menit. Mereka mendingan ke Labuan Bajo atau ke Gili. Ini persoalan-persoalan, jadi wisatawan lebih senang untuk putar-putar di daerah Badung dan Denpasar saja, sehingga lama tinggal 3,5 hari dari data BPS turun ke 3,1 hari," kata mantan Bupati Gianyar itu.

Cok Ace mengharapkan pemerintah juga harus menyelesaikan persoalan zonasi yang kini sangat kacau. Bagaimana mungkin hotel bintang 5 bertetangga dengan hotel bintang 1 dan 2.

"Hotel yang luas lahannya 10 hektare dengan kamar 100 atau 150 akhirnya bersaing dengan hotel seluas 40 are tetapi memiliki 200 kamar. Sangat tidak adil, sama saja kita membuka showroom yang menjual mobil-mobil mewah, sekonyong-konyong disampingnya ada mobil-mobil yang murah," ujarnya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017