Rumah adat Bali menjadi daya tarik para wisatawan dalam dan luar negeri yang datang ke pulau Dewata. Bangunan itu memiliki filosofi bernilai luhur sebagi salah satu bukti sejarah peninggalan arsitektur pada masa lampau.

"Filosofi itu terdapat dalam 'Asta Kosala Kosali' yakni terbangunnya keselarasan dan kedinamisan dalam hidup yang menerapkan konsep 'Tri Hita Karana'," kata Pembina Yayasan Bumi Bali Bagus (YBBB), Ir. I Gusti Ngurah Bagus Muditha yang populer dipanggil Turah Pemayun.

Ia mengatakan, pembangunan yang berdasarkan 'Tri Hita Harana' itu menggambarkan terbentuknya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam lingkungannya.

Sementara 'Asta Kosala Kosali' menjadi patokan utama sudut dan arah bangunan di dalam rumah orang Bali.
Turah Pemayun menambahkan, konstruksi bangunan pada rumah adat Bali juga berdasarkan konsep agama Hindu yang dinamakan 'Tri Angga'.

Ia menjelaskan, Tri Angga merupakan konsep hierarki atau tingkatan yang terdiri atas  'Utama' atau kepala, 'Madya' atau badan dan 'Nista' atau kaki.

Bagian 'utama' melambangkan simbol dari bangunan bagian atas yang diperlihatkan dalam bentuk atap rumah.
Bagian atas merupakan tempat paling suci dalam rumah, untuk itu dalam pembangunan rumah adat Bali menggunakan material atap dengan alang-alang.

Pada 'Madya' bagian tengah bangunan yang diperlihatkan dalam bentuk dinding, jendela dan pintu.

"Khususnya pada dinding bangunan pada masa lalu menggunakan batu bata merah," ujar Turah Pemayun.

Sementara pada 'Nista' sebagai hierarki terendah suatu tingkatan yang diperlihatkan melalui pondasi atau dasar sebagai penopang bangunan di atasnya.

Pembangunan pondasi dari bangunan tersebut tentunya menjadi perhatian yang sangat serius para leluhur orang Bali.
Untuk itu, material pondasi bangunan terbuat dari batu gunung yang disusun dengan rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibangun.

Rumah Adat Bali Implementasi Tri Angga

Turah Pemayun mengatakan, bagian-bagian bangunan dengan bentuk-bentuk tertentu karena memiliki fungsi berbeda.

Bagian bangunan rumah adat Bali dibedakan menjadi tiga bagian, masing-masing bagian kepala, badan dan kaki.
Ia menjelaskan, orang Bali dalam membangunan bagian atap menggunakan penutup atap tradisonal yang disebut dengan 'raab' yang terbuat dari bahan alam, sebagian besar menggunakan 'alang-alang'.

Sementara di daerah pegunungan menggunakan sirap bambu di daerah yang mudah untuk mendapatkan bambu. Serta daerah pantai banyak menggunakan anyaman daun kelapa yang disebut dengan 'kelangsah', 'kelabang', 'tetarub' dan 'palpalan'.

Pemilihan bahan tersebut yang diolah dalam rangkaian ikatan yang diikat dalam 'iga-iga' dari bambu pilihan menghasilkan keindahan yang harmonis.

Sekaligus mampu menjaga suhu ruangan tetap ideal, pada musim dingin tetap sejuk dan musim hujan tetap hangat, karena terdapat ruang terjadinya pertukaran keluar masuk udara.

Selain itu, pengunaan bahan alami tersebut mampu menahan laju jatuhnya air agar tidak terlalu deras ketika hujan, karena bangunan tradisional Bali memiliki kemiringan hingga 45 derajat dengan panjang ujung atap dengan tembok sekitar 35 centimeter.

"Upaya tersebut untuk menghindari percikan air hujan mengenai lantai maupun dinding rumah," ujar Turah Pemayun.

Pada era moderen, bahan bangunan tentunya banyak beralih menggunakan atap dengan genteng, sementara ukuran sangat dekat dengan tembok sehingga percikan air hujan mengenai dinding dan tembok.

Hal itu yang mengakibatkan percepatan kerusakan tembok maupun lantai rumah tersebut. Untuk itu, jarak atap dengan tembok agar disesuaikan dengan ukuran warisan leluhur orang Bali. Hal itu, penting diperhatikan secara teliti untuk menjaga ketahanan rumah yang di bangun.

Sementara itu, pemasangan 'iga-iga' menggunakan perhitungan sesuai dengan  'asta kosala kosali' (Sri, Werdhi, Naga, Hyang, Mas, Perak).

"Khususnya untuk pembangunan rumah tinggal menggunakan 'Werdhi' agar terjadi kerukunan dalam berumah tangga," ujar Turah Pemayun menambahkan.

Turah Pemayun memaparkan, bangunan rumah bagian tengah atau badan untuk bangunan yang tergolong sederhana bidang-bidang sisi dipakai dinding 'bedeg' dari anyaman bambu atau anyaman daun kelapa. Sedangkan rumah tinggal yang tergolong madia atau utama bidang-bidang sisi ruang ditembok dengan bahan batu bata merah.

Dimana pemasangan batu bata pada zaman dahulu 'diasab' sehingga kelihatannya sangat rapi dan tidak menggunakan alat perekat seperti semen pada era sekarang.

Tembok dan pilar-pilarnya dibangun dengan pola (kepala-badan-kaki) dihias dengan 'pepalihan' dan ornamen bagian-bagian tertentu.

Tembok tradisional dibangun terlepas tanpa ikatan dengan kontruksi rangka bangunan  dipertegas dengan celah antara kepala tembok dengan sisi bawah atap sehingga tembok bebas tidak memikul.

Untuk itu, ketika terjadi gempa dapat dipasatikan tidak banyak terpengaruh pada kontruksi rangka bila tembok gugur.

Di samping itu, celah antara kepala tembok dan sisi bawah atap juga berfungsi untuk 'cross pentilasi' untuk sirkulasi udara.

Maka dari itu, leluhur orang Bali telah merancang sebuah bangunan nyaman untuk ditempati dan ketahanannya teruji.
Selanjutnya pada bagian bawah yakni kaki bangunan adalah 'bebatuan' yang merupakan lantai bangunan, tangga untuk lintasan naik turun lantai ke halaman yang tinggi totalnya sekitar satu meter.

'Bebaturan' terdiri dari 'jongkok asu' sebagai pondasi tiang, 'tapasujan' sebagai perkerasan tepi 'bebaturan'.
Bentuk lantai denahnya segi empat dengan tinggi lantai disesuaikan dengan fungsinya, satuan modul adalah 'amusti' setinggi genggaman tangan sampai ke ujung ibu jari ditenggakan kurang lebih 15 centimeter.

Sloka kelipatannya adalah 'candi' - 'watu' - 'segara' - 'gunung' - 'rubuh' dihitung dari bawah ke atas, masing-masing kelipatan untuk bangunan tertentu.

Bahan bangunan yang dipakai untuk 'bebaturan' sesuai dengan tingkatan sederhana, media atau utama.
Bangunan leluhur orang Bali mengutamakan bahan-bahannya dari alam dengan warna alami.

Ia juga memaparkan, elemen kontruksi utama dalam bangunan leluhur orang Bali adalah tiang modul dasar sesungguhnya adalah tiang yang disebut 'Sesaka'.

Penampang tiang bujur sangkar dengan sisi-sisinya berkisar dari 'amusti', 'asangga', atau ruas-ruas jari telunjuk sesuai dengan fungsi bangunan dan faktor-faktor penentu.

Ia menambahkan, leluhur orang Bali juga sangat memperhatikan bahan kayu dengan kualitas dari kelompok-kelompok kayu tertentu dibagi menjadi tiga yakni klas 'prabu', klas 'patih' dan klas 'demung'.

Misalnya kayu-kayu untuk bahan bangunan perumahan ditentukan klas 'prabu' kayu ketewel dan klas 'patih' kayu jati.

Untuk bangunan 'parhyangan' ditentukan klas 'prabu' kayu cendana dan klas 'patih' kayu menengen. Penempatannya pada bagian kontruksi disesuaikan dengan kehormatan kedudukan perangkat kerajaan.

Sementara implementasinya dalam pembangunan era moderen menerapkan sistem 'jejaton' yang berarti bangunan tersebut tetap disisipi apabila kayu tersebut jumlahnya sangat terbatas.

Setiap perumahan orang Bali memiliki halaman atau 'natah' yang merupakan ruang bangunan satu dengan lainnya yang digunakan untuk melakukan upacara adat, termasuk terdapat 'sanggah natah'.

Selain itu juga sebagai simbol ibu pertiwi melambangkan kesuburan bagi produktifitas dalam keluarga.
Terdapat pula 'kori' sebagai pintu masuk pekarangan dengan ukuran untuk manusia saja setinggi 'apanyuhjuh' atau tangan direntangkan ke atas dan lebar 'kori' 'apajengking' atau tangan bercekak pinggang.

Dalam perkembangannya dengan adanya sepeda motor dan mobil keluar masuk perumahan, ukuran 'kori' perlu menyesuaikan dengan keperluan.

Untuk itu, diperlukan kecerdasan dan pengetahuan agar mampu memilih warisan leluhur orang Bali yang mana harus dilestarikan maupun yang patut dibenahi.

Turah Pemayun mengharapkan, para pemuda Hindu jangan takut melakukan perubahan, jika hal itu sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman namun tetap mempertahankan esensi yang ada.

Ditambah dengan setiap perumahan memiliki 'telajakan' yang digunakan untuk tanaman pepohonan, menanam kebutuhan keperluan dapur maupun upakara.

Hal tersebut sebagai upaya leluhur orang Bali mengajarkan agar selalu untuk melestarikan alam dan sebagai bentuk implementasi  'Tri Hita Karana'. (*)

Pewarta: Pewarta: I Wayan Artaya

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017