Negara (Antara Bali) - Praktek rentenir merajalela di desa pesisir Kabupaten Jembrana, yang memberikan pinjaman kepada nelayan dengan bunga yang tinggi.

Penelusuran di lapangan, praktek rentenir bisa dijumpai di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara dan sekitarnya, yang merupakan sentra perikanan tangkap di Kabupaten Jembrana.

Ar, salah seorang korban rentenir, Jumat, mengatakan, ia meminjam Rp5 juta yang dalam tempo dua bulan menjadi Rp6 juta, atau dengan bunga Rp500 ribu perbulan.

Nelayan muda ini mengaku, ia berurusan dengan rentenir berinisial Hul, setelah disuruh temannya untuk mencarikan pinjaman uang dengan jaminan sepeda motor yang masih dalam masa pencicilan.

"Setelah mendapatkan pinjaman Rp5 juta, seluruh uangnya saya berikan kepada kawan saya itu. Tapi dari situlah awal petaka menimpa saya, karena sepeda motor itu dicicil atas nama adiknya" katanya.

Menurutnya, janji dua minggu untuk mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi itu tidak ditepati oleh kawannya itu, justru yang bersangkutan pergi ke Denpasar dengan alasan bekerja, namun sulit dihubungi.

Karena ia bersama kawannya yang lain berinisial Kho yang menggadaikan sepeda motor tersebut, maka rentenir perempuan terus mengejarnya untuk mengembalikan pinjaman berikut bunganya.

Masalah menjadi lebih berat bagi nelayan Dusun Ketapang, Desa Pengambengan ini, karena Ag, adik kawannya yang menerima uang itu belum membayar cicilan sepeda motor, sehingga juga ditekan pihak finance.

Untuk mendapatkan pinjaman pokok beserta bunganya, rentenir itu berkali-kali mendatangi rumahnya, dengan membentak-bentak, mengejek bahkan mengancamnya.

Wartawan Antara yang sempat ke rumah nelayan itu bertepatan dengan kedatangan rentenir itu mendengar, nelayan yang beralamat di Desa Pengambengan namun tinggal di Desa Cupel ini diancam akan dibawakan buser dari kepolisian jika tidak mau membayar.

"Tadi buser sudah mau kesini tapi saya larang. Kalau kau tidak mau membayar, akan saya laporkan ke polisi," katanya galak.

Rentenir ini tidak mau tahu, kalau Ar dan Kho sama sekali tidak menikmati uang pinjaman tersebut, karena seluruhnya diberikan kepada kakak Ag yang setelah menerima uang itu sulit untuk dihubungi.

Merasa terancam, mereka berdua lalu datang ke Kantor Desa Pengambengan, untuk minta kepada aparat desa melindungi dan memfasilitasi pertemuan dengan rentenir tersebut.

Karena Ar beralamat di Dusun Ketapang sementara Kho di Dusun Kelapa Balian, dua kepala dusun memediasi pertemuan nelayan ini dengan rentenir.

Di kantor desa, rentenir itu tetap pada pendiriannya, yaitu pinjaman pokok Rp5 juta harus dikembalikan beserta bunga Rp1 juta, sehingga totalnya Rp6 juta.

Kalah berdebat, Ar, Kho dan Ag pasrah saja saat mereka masing-masing harus urunan masing-masing Rp2 juta untuk mengembalikan pinjaman tersebut dalam waktu satu minggu.

"Sekarang saya bingung kemana mencari uang Rp2 juta dalam waktu dua minggu, apalagi lagi sepi ikan seperti ini," kata Ar, yang memiliki satu anak balita.

Merajalelanya praktek rentenir dengan pinjaman yang seolah-olah gampang tapi akhirnya mencekik nelayan ini, diakui Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan Dan Koperasi Jembrana Made Sudantra.

Meskipun sudah sering mendapatkan informasi terkait hal itu, ia mengatakan, praktek rentenir sulit dicegah karena berbagai faktor.

"Pertama, rentenir itu kan ada tapi tidak ada, karena pola kerjanya diam-diam. Kedua, ini berhubungan dengan mentalitas masyarakat, yang sering lebih memilih meminjam ke rentenir, dibandingkan ke lembaga keuangan resmi seperti bank atau koperasi," katanya.

Menurutnya, dalam kondisi sangat terpaksa, masyarakat sering lebih memilih pinjam ke rentenir, dibandingkan ke bank atau koperasi, dengan alasan prosesnya lebih gampang.

"Kalau di rentenir kan ada jaminan langsung dapat uang, tanpa harus melewati prosedur dan administrasi. Kalau ke koperasi atau bank, ada tahapan prosedur yang harus ditempuh, sehingga membuat mereka malas," katanya.

Padahal, katanya, sistem perbankan saat ini sudah memberikan kemudahan kepada masyarakat bawah khususnya yang memiliki usaha kecil menengah lewat KUR.

Namun untuk berprilaku seperti rentenir dimana ada jaminan langsung dapat uang, menurutnya, tidak mungkin dilakukan lembaga keuangan resmi karena mereka terikat aturan.

"Prinsipnya, praktek rentenir itu salah dan melanggar hukum. Saya imbau, masyarakat untuk meminjam kepada lembaga keuangan resmi, yang jika merasa dipersulit kan ada mekanisme pengaduan," katanya.

Untuk memberantas rentenir, ia minta, aparat desa serta tokoh masyarakat memberikan pembinaan kepada warganya, karena praktek menyimpang ini berkaitan erat dengan mentalitas masyarakat.

"Akan lebih baik jika dibentuk koperasi-koperasi di pesisir, tapi kelola dengan baik, karena sering koperasi tidak berjalan disebabkan anggotanya tidak mengembalikan pinjaman, padahal bunganya lebih rendah dari rentenir," katanya.

Pantauan di lapangan, praktek ilegal rentenir yang seolah-olah meringankan nelayan padahal mencekik ini dilakukan dengan berbagai cara.

Saat peminjam tidak mampu mengembalikan uang pokok, dengan alasan kasihan mereka diminta hanya membayar bunga, sementara pinjaman pokoknya masih utuh sampai peminjam bisa melunasi sepenuhnya.

"Itu kan sebenarnya jebakan, semakin lama peminjam tidak mampu membayar pokok, semakin untung rentenir karena terus mendapatkan setoran bunga, sementara nilai pinjaman tetap utuh," kata Sudantra.(GBI)

Pewarta: Pewarta: Gembong Ismadi

Editor : Gembong Ismadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017