Denpasar  (Antara Bali) - Ir I Gusti Ngurah Bagus Muditha populer dikenal Turah Pemayun selaku Pembina Yayasan Bumi Bali Bagus (YBBB) mengatakan, leluhur orang Bali mewariskan konsep pembangunan rumah sangat teliti.

"Pembangunan yang dilaksanakan leluhur orang Bali mengutamakan kualitas dengan menerapkan konsep Tri Hita Karana dalam setiap proses," ujar Turah Pemayun.

Ia menyebutkan, sejatinya warisan leluhur Bali sungguh hebat dan luar biasa dengan memiliki sistem secara otomatisasi dalam melakukan sebuah pembangunan.

Budaya pembangunan rumah Bali mempertimbangkan semua aspek, penuh dengan ketelitian dan kejujuran.
Hal tersebut telah diatur dalam "Asta Kosala Kosali" yang merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali.

"Mulai dari pemilihan lokasi, pengukuran tempat pembangunan, pengaturan tata letak, arsitektur, pemilihan bahan dan waktu membangun," kata Turah pemayun.

Ia menjelaskan, tokoh dalam cerita Mahabharata dikemukakan, bahwa mengenal Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur, dalam kisah tersebut diceritakan dimintai bantuan oleh Krisna untuk membangun kerajaan barunya.

Dimana Wismakarma yang bersatu sebagai dewa kahyangan yang bisa menyulap laut menjadi sebuah kerajaan untuk Krisna.

Hal itu untuk bertujuan memperoleh restu kepada Tuhan Yang Maha Esa, khususnya Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewa Arsitektur agar bangunan tersebut memancarkan vibrasi positif bagi penghuninya.

Mendapatkan keseimbangan antara penghuninya dengan alam semesta baik secara "Sekala" atau dapat dilihat dan "Niskala" atau tidak dapat dilihat tetapi bisa dirasakan.

Oleh karena, menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, bangunan memiliki jiwa "bhuana agung" atau alam makrokosmos dan manusia yang menepati bangunan adalah bagian dari "buana alit" atau mikrokosmos.

Pembangunan para leluhur menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing, tidak menggunakan meter sebagai standar ukuran seperti era moderen.

Dalam "Asta Kosala Kosali" penataan bangunan yang berdasarkan anatomi tubuh yang punya, pengukurannya menggunakan ukuran dari tubuh pemilik bangunan rumah.

Antara lain "Musti" atau ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas, "Hasta" atau ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka, dan "Depa" atau ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.

"Untuk itu,  besar rumahnya akan ideal sekali dengan pemilik bangunan rumah," ujar Turah Pemayun.

Implementasi Tri Hita Karana Rumah Bali

Turah Pemayun mengatakan, pembangunan perumahan dilandasi oleh "Tri Hita Karana" yaitu unsur "Parhyangan" yakni "Pemerajan" atau tempat pemujaan. Unsur "Pawongan" yakni manusianya dan "Palemahan" yakni unsur alam dan tanah.

Termasuk "Dewata Nawasanga" merupakan sembilan kekuatan Tuhan, yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.

Turah Pemayun menambahkan, leluhur orang Bali mampu menerapkan konsep "Tri Hita Karana" mulai mendirikan perumahan bidang "Parahyangan" untuk selalu dilandaskan dengan upacara dan "upakara" agama mulai membangun hingga selesai.

Mengandung makna mohon izin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan  harapan terwujudnya keseimbangan antara kehidupan lahir dan bathin, dengan mendirikan tempat pemujaan sederhana "Turus Selumbung."

Sementara, bidang "Pawongan" hubungan manusia dengan manusia maka dibuatlah dapur untuk menyiapkan makanan dan minuman yang suguhkan kepada tukang atau "undagi" yang membangun rumah tersebut.

Peranan dapur dalam kaitannya hal tersebut, memiliki peran yang sangat vital menjadi sumber kehidupan.
Sekaligus menurut kepercayaan leluhur orang Bali mampu menjadi tempat menetralkan segala jenis penyakit dan bahaya secara "sekala" dan "niskala".

Selain itu, dalam pembangunan perumahan tentu adanya pengaturan tata letak bangunan dan selalu ada ruang untuk melakukan penataan taman sebagai bentuk implementasi "Palemahan" untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan lingkungannya.

Begitu juga pengaturan tata letak telah diatur semikian rupa untuk memenuhi unsur-unsur "Tri Hita Karana" yakni "Pamerajan" sebagai tempat upacara yang dipakai untuk keluarga yang letaknya di Timur Laut.

"Umah Meten" untuk ruang yang biasanya dipakai tidur oleh kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat.

"Bale Sakepat" digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior.

"Bale tiang sanga" biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu dan "Bale Dangin" biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya.

"Lumbung" sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya. "Paon" atau dapur untuk tempat memasak bagi keluarga.

Terdapat "Aling-aling" sebagai pintu masuk yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Untuk membatasi ruang privasi dan publik.

"Angkul-angkul" berbentuk "cangkem kodok" berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk.

Warisan Leluhur Rumah Bali Media Pendidikan

Konsep penting pula setiap bangunan rumah Bali yang telah diwariskan leluhur memiliki segudang pengetahuan menjadi media pendidikan.

Turah Pemayun, mengharapkan, anak-anak muda mampu menerima hal positif yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mampu menjadi pondasi dalam menghadapi persaingan global.

Upaya pelestarian lingkungan, peduli sesama maupun meningkatkan keimanan dalam setiap individu telah diwariskan secara turun-temurun, salah satunya dalam konsep pembangunan rumah Bali.

Setiap perumahan Bali wajib terdapat Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan.
Tempat Sembahyang atau "Pemerajan", karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat matahari terbit. Serta Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di utara dimana gunung berada.

Sedangkan konsep ini juga disebutkan tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya "Tri Angga", yang diantara "Nista" yang  menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya terbuat dari batu bata atau batu gunung.

Selanjutnya "Madya" bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu yang menggambarkan strata manusia atau alam manusia.

Serta "Utama" pada bagian atap tersebut bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

Sebagai  simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal.

"Pemahaman hal tersebut penting diberikan kepada masyarakat agar tidak terputus, bahkan tetap dapat dilestarikan," demikian Turah Pemayun. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016