Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Sekali pun ada sedikit rasa kecewa, namun gelar kesarjanaan bukan yang utama, lebih penting dari itu adalah sudah berhasil melawan beratnya perjuangan kuliah di Teknik Elektro Udayana. Selanjutnya, tinggal memanfaatkan segala ilmu yang didapat di bangku kuliah. Salah satu caranya adalah memasuki dunia kerja yang sesungguhnya, terpenting bukan di lingkungan kampus Undiknas. Karena itu, tanpa membuang waktu dia langsung melamar pekerjaan di tempat jauh. Jenis pekerjaan yang disasarnya harus terkait dengan Ilmu Elektro.

Satu lagi, tempatnya bekerja harus di perusahaan ternama. Lagi-lagi pilihan ini bukan sepenuhnya berasal dari keinginan Sri Darma, melainkan hanya mengikuti teman-temannya. Karena hanya sekedar ikut-ikutan, dia pun mulai menemukan ketidaknyamanan. Selanjutnya menimbulkan kegelisahan, sehingga membuat Sri Darma memikirkan kembali nasib masa depannya. Mau dibawa kemana, apa akan tetap bertahan menjadi seorang karyawan di perusahaan yang bergerak di bidang teknik elektro, ataukah beralih haluan menjadi seorang dosen. Jika tidak menjadi dosen, lalu siapa yang akan mengikuti jejak sang ayah, bagaimana nantinya dengan Undiknas.

Pilihan pun dibuat. Sri Darma memutuskan sebuah pilihan yang cukup realistis, akan menjadi dosen. Demi mewujudkan keputusan ini, dia lantas mengajukan lamaran sebagai pegawai negeri sipil yang ditempatkan di Kopertis untuk ditugaskan menjadi dosen di universitas swasta. Setelah melakukan serangkaian tes, dia pun dinyatakan lulus. Per 1 Maret 1994, dia resmi diangkat menjadi dosen berbarengan dengan turunnya SK pengangkatan.

Namun sebelum menjalankan tugasnya mengajar, Sri Darma ingin meningkatkan dan meluaskan bidang ilmu, sebab tidak cukup hanya dengan bergelar Sarjana S-1 Teknik Elektro.

"Karena sudah memilih menjadi dosen, ya saya harus melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2. Modal S-1 saja belum cukup bahkan kalau perlu sampai S-3," ujar Sri Darma.

Dengan mantap dan penuh keyakinan, Sri Darma memutuskan akan melangkahkan kakinya ke jenjang S-2, sekolah magister. Namun di tengah-tengah kebulatan tekadnya itu, tiba-tiba muncul guratan kebingungan, bidang ilmu apa yang akan digeluti. Apakah akan melanjutkan ke teknik elektro ataukah memilih sesuatu yang baru. Apalagi kalau nantinya dia bisa ditugaskan di Undiknas, tentu harus ada gelar sarjana manajemen. Memulai lagi dari S1 sudah tidak realistis, sebab akan menghabiskan waktu terlalu banyak.

"Kalau S-2 tetap mengambil elektro, mau jadi apa nanti saya. Apalagi setelah saya rajin membaca beberapa terbitan surat kabar yang lebih banyak menulis tentang ekonomi, inflasi serta valas. Jadi tidak ada yang memberitakan tentang perkembangan ilmu elektro. Jadi peluang untuk berkembang di bidang elektro sangat kecil. Dan saya tahu betul kalau orang tua sangat mengharapkan saya untuk mengelola Undiknas. Karena Undiknas begitu kuat dengan jurusan manajemennya, ya saya putuskan untuk mengambil magister di bidang manajemen."

Kebetulan saat itu lagi ramai-ramainya orang masuk ke jenjang S-2 untuk memperoleh gelar Magister Manajemen (MM) atau Magister Bisnis Manajemen (MBA). Itulah yang membuat Sri Darma Tertarik, namun kali ini dia tidak mau gegabah, sebab bisa-bisa kena tipuan, berhasil memperoleh gelar MM-MBA, namun tidak mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Memang cukup banyak kasus gelar MM-MBA yang telah diraih seseorang tidak memperoleh pengakuan dunia internasional.

Semua itu merupakan akibat dari sistem komersialisasi yang lagi marak-maraknya kala itu, bahkan sudah masuk ke dunia kampus. Banyak kampus yang berusaha menemukan cara canggih meraup keuntungan, misalnya dengan cara menciptakan brand untuk memancing peminat. Bisa pula dengan cara meminjam nama-nama dosen terkenal di Indonesia bahkan luar negeri. Biasanya mereka menawarkan harga yang tinggi, sehingga banyak yang tertarik, karena logika bisnis sering berkata, jika harga tawar tinggi, produk yang dijual pasti akan mengikuti dengan sendirinya. Nyatanya banyak yang tertipu, sehingga sekalipun sudah bergelar MBA dan diwisuda di hotel berbintang pula, namun mereka merasa malu mencantumkannya sebagai gelar akademis.

Satu-satunya cara supaya tidak tertipu adalah masuk ke PTN yang membuka program MM-MBA, tapi di mana? Apakah akan kembali ke Universitas Udayana? Jawabannya tidak. Harus di luar bali, supaya bisa memperoleh pengalaman baru. Hari itu kebetulan Sri Darma membaca harian Kompas. Disalah satu sudut koran itu, ada sebuah berita advertensi tentang penerimaan mahasiswa baru pada Magister Manajemen di Universitas Gadjah Mada untuk segala disiplin ilmu.

Sebagai perbandingan, Sri Darma juga mencari informasi program MM di Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga. Dari ketiga pilihan yang ada, Sri Darma lebih condong ke Univeritas Gadjah Mada. Alasannya, karena dia ingin mendapat didikan dari para dosen UGM yang kabar beritanya hebat-hebat. Kehebatan dosen-dosen UGM, diketahui dari kerapnya nama mereka terpampang sebagai penulis buku-buku best seller yang terkait dengan bidang ilmu ekonomi.

Sri Darma pun mendaftarkan diri sebagai peserta program S-2 Magister Manajemen UGM. Sesuai nama besarnya ternyata hanya untuk mendaftar saja sudah cukup rumit. Tidak cukup hanya punya ijazah S-1, tapi IPK S1 minimalnya harus 2,75 dalam skala 4. Juga harus lulusan program studi terakreditasi dengan nilai minimal B. Itupun masih harus dibuktikan dengan print screen akreditasi dari laman BAN-PT yang masih berlaku. Jika akreditasinya sedang dalam proses perpanjangan, harus dibuktikan dengan surat keterangan dari pimpinan Perguruan Tinggi.

Apabila dokumen akreditasi tidak valid, maka berkas-berkas pendaftaran tidak akan diproses lebih lanjut.
Sekarang, bahkan lebih rumit lagi, sebab pendaftar harus mempunyai nilai Tes Potensi Akademik (TPA) BAPPENAS atau Tes Potensi Akademik Pascasarjana [PAPs] UGM, dibuktikan dengan sertifikat yang masih berlaku, yaitu maksimum dua tahun setelah tanggal dikeluarkannya sertifikat. Juga harus mempunyai nilai tes kemampuan Bahasa Inggris dibuktikan dengan sertifikat yang masih berlaku, yaitu maksimum dua tahun setelah tanggal pengeluarannya.

Nilai kemampuan Bahasa Inggris beserta sertifikat yang dapat digunakan adalah [i] Academic English Proficiency Test (AcEPT) dari UGM, [ii] International English Testing System (IELTS) dari istitusi yang diakui oleh IDP, [iii] dan Internet Based (iBT) TOEFL dari institusi yang diakui oleh IIEF,[iv] Institutional Testing Program (ITP) TOEFL dari institusi yang diakui oleh IIEF.

Singkatnya, Sri Darma lulus seleksi. Karena itu sejak tahun 1994, Sri Darma resmi tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Magister Manajemen di UGM Yogyakarta. Pilihannya tepat, sebab UGM telah membentuk jaringan internasional dengan universitas asing bereputasi tinggi. Namun upaya untuk mengejar kampus berkualitas ini, secara sosial harus dibayar mahal. Dia harus tinggal terpisah dari kedua orang tua dan sanak saudaranya. Kuliah di UGM, memang tidak mungkin pulang pergi, sebab butuh satu jam perjalanan kalau naik pesawat terbang dan sekitar sepuluh jam jika lewat darat. Namun semua itu harus dijalani.

Sebelum berangkat ke Yogyakarta, dia menghubungi dosen-dosen Undiknas yang kebetulan kuliah di UGM. Undiknas memang memiliki program untuk menyekolahkan para dosennya ke jenjang magister, dan banyak yang memilih UGM. Sri Darma memanfaatkan kesempatan itu dengan cara meminta tolong supaya dicarikan sebuah kamar kost untuknya. Mereka pun mengajak Sri Darma tinggal bersama dengan dosen-dosen Undiknas di Wisma Gejayan.

"Karena itu sebelum berangkat, saya minta pada dosen-dosen Undiknas yang sudah ada di Yogyakarta untuk dicarikan satu kamar. Saya pun dapat kamar di Wisma Gejayan bersama delapan dosen Undiknas lainnya," ujar Sri Darma.

Ternyata Sri Darma merasa tidak kerasan tinggal di Wisma Gejayan, bukannya karena ada masalah pribadi dengan para koleganya itu, melainkan merasa tidak nyaman dengan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Lingkungan sekitarnya yang padat, seperti berdesakan satu sama lain, ditambah tiupan debu dan asap kendaraan umum yang beterbangan ke sana kemari, menghancurkan konsentrasi belajar. Kondisi serba hiruk pikuk itu memang tidak bisa dihindari karena wisma ini memang terletak di pinggir Jalan Gejayan, yang lalu lintasnya sangat padat. Itu karena jalan ini merupakan pintu keluar masuk kendaraan yang akan menuju jalan lingkar utara dan Yogyakarta selatan, termasuk ke terminal Umbulharjo.(*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016