Bogor (Antara Bali)
- Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Siti Madanijah mengemukakan bahwa untuk melahirkan generasi dengan
pertumbuhan prima, maka dibutuhkan keseriusan memperhatikan 1.000 hari
pertama kehidupan (HPK) seorang anak.
"Status gizi ibu yang dimulai dengan status remaja putri dan calon
ibu hamil merupakan faktor yang sangat penting," katanya di Kampus IPB
Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Tampil bersama Guru Besar Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, Prof. Aida
Vitalaya S Hubeis pada acara "Ngopi Pagi" dalam rangka menyongsong Hari
Kartini 2014 yang dipandu Kepala Kantor Hukum, Promosi dan Humas IPB
Yatri Indah Kusumastuti, Ani --panggilan akrab Prof Siti
Madanijah--mengulas ikhwal "1.000 HPK" itu.
Ia mengatakan, selama ini ada pendapat umum bahwa seorang anak tumbuh mengikuti potensi genetiknya.
"Padahal sesungguhnya yang terjadi adalah pertumbuhan seorang anak menyesuaikan diri dengan lingkungannya," katanya.
Jadi, kata dia, dari gen yang diturunkan sesungguhnya masih
terbentang luas peluang untuk menciptakan jalan masing-masing anak agar
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Peluang tersebut, kata dia, adalah "1.000 HPK", yaitu 270 hari di
dalam kandungan dan 730 hari dalam dua tahun pertama setelah lahir.
Terkait peranan gizi ibu hamil, katanya, status gizi ibu sangat
berperan dalam menentukan perkembangan dan kesehatan bayinya.
"Suplai makanan janin sangat tergantung dari pasokan makanan dari
ibu, baik makanan yang dikonsumsi maupun yang berasal dari simpanan
ibu," katanya.
Dikemukakan bahwa status gizi ibu banyak yang tidak optimal saat
memasuki masa kehamilan, ditambah konsumsi saat hamil yang tidak
adekuat, berakibat janin akan mengalami kekurangan berbagai zat gizi
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Pada keadaan inilah, katanya, janin melakukan adaptasi untuk mengatasi kurangnya pasokan gizi untuk kebutuhkannya.
Sifat janin yang plastis selama periode pertumbuhan dan
perkembangan, kata dia, memudahkan untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya, di mana kondisi itu disebut "developmental plasticity".
"Bila lingkungan kekurangan gizi berlangsung cukup lama, maka janin
akan melakukan penyesuaian melalui perubahan struktur, fungsi
fisiologis, dan metabolisme di dalam tubuh, dan perubahan ini bersifat
permanen, tidak bisa kembali lagi, walaupun lingkungan gizinya sudah
diperbaiki," katanya menegaskan.
Dampak jangka panjangnya, kata dia, meliputi pertumbuhan linier
(tinggi badan), fungsi kognitif dan fungsi organ lain, yang pada
akhirnya berakibat meningkatnya risiko terhadap terjadinya fungsi
kognitif yang sub-optimal, dan berbagai penyakit kronis.
Pendidikan gizi
Sementara itu, Aida Vitalaya S Hubeis yang mengulas persoalan
kesetaraan gender melihat bahwa pendidikan gizi menjadi salah satu
solusi untuk meningkatkan kualitas anak dalam pertumbuhan.
"Selama ini, program dan kampanye pendidikan gizi kepada publik
membutuhkan paradigma baru, yang tidak sekadar persoalan sayur dan buah
yang banyak mengandung vitamin," katanya.
Ia memberi contoh bahwa persoalan gizi keluarga itu --dalam kaitan
kesetaraan gender-- menghadapi persoalan yang bisa berasal dari
perspektif agama dan juga konstruksi sosial dan budaya.
Contohnya, dalam sebuah penelitian ia menemukan seorang
respondennya yang merupakan kader gizi tingkat nasional pun, ketika
dalam rumah tangga masih bersikap bahwa makanan yang disajikan dengan
kualitas gizi paling baik, selalu diperuntukkan pada suami, ketimbang
untuk dirinya maupun anak-anak yang justru lebih membutuhkan.
Jadi, kata dia, dibutuhkan penyadaran baru dalam melihat perspektif semacam itu guna perbaikan generasi di masa mendatang. (WDY)
Generasi Prima Butuhkan "1.000 HPK"
Jumat, 18 April 2014 6:50 WIB