Jakarta (Antara Bali) - Para ilmuwan melacak perubahan iklim akibat letusan gunung
berapi lewat warna dalam lukisan-lukisan matahari terbenam para seniman.
Saat meletus, gunung-gunung api memuntahkan abu dan partikel pantul yang disebut aerosol ke atmosfer.
Ledakan
besar bisa mendinginkan planet (dengan memantulkan sinar matahari) dan
menjadikan langit petang merah tua, membuat matahari terbenam tampak
jelas seperti saat Gunung Krakatau di Indonesia meletus tahun 1883.
Beberapa
sejarawan menduga, langit berwarna oranye dan merah pada lukisan Edvard
Munch "The Scream" yang dibuat tahun 1893 terinspirasi letusan
Krakatau.
Dengan mempelajari warna-warna matahari terbenam dalam
lukisan, para ilmuwan iklim ingin mengukur pendinginan alami yang
terjadi setelah letusan gunung-gunung api bersejarah.
Para
ilmuwan menganalisis 554 potret digital lukisan di Tate Gallery dan
National Gallery di London. Banyak di antaranya buatan seniman lanskap
J.M.W Turner, yang menangkap perubahan tingkat aerosol di Inggris
setelah letusan Gunung Tambora di Indonesia tahun 1815.
Tambora
memicu "tahun tanpa musim panas" ketika pendinginan global merusak
tanaman musim panas dan menyebabkan ribuan orang kelaparan, demikian
menurut hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Atmospheric Chemistry and Physics pada 25 Maret.
Tim
peneliti juga menemukan sekitar 50 gambar para artis lain yang dilukis
dalam tiga tahun letusan gunung berapi antara tahun 1500 dan 2000.
Dengan mengukur warna merah dan hijau pada lukisan, para peneliti dapat mengetahui tingkat polusi aerosol pada masa lalu.
Lebih
banyak aerosol akan memerahkan mentari tenggelam, karena
partikel-partikel kecil itu lebih kecil dibandingkan panjang gelompang
cahaya yang tampak.
Semakin panjang panjang gelombang cahaya
merah melalui aerosol, semakin pendek panjang gelombang cahaya biru dan
ungu diserakkan oleh partikel aerosol.
"Terlepas dari sekolah dan
gayanya, semua pelukis memberikan informasi aerosol yang cukup akurat
ketika rasio merah/hijau diuji," kata penulis utama studi itu, Christos
Zerefos, profesor fisika atmosfer di Academy of Athens, Yunani, dalam
wawancara lewat surel.
Studi ini membandingkan aerosol dari
lukisan-lukisan itu dengan data-data lingkungan seperti inti es dan
menemukan kesepakatan yang bagus, kata Zerefos seperti dilansir laman
LiveScience.
Sejak awal Era Industri tahun 1850an, polusi aerosol buatan manusia di atmosfer meningkat.
"Luar
biasa bahwa rasio merah/hijau mengikuti perubahan di atmosfer dengan
metode yang benar-benar berbeda dengan ketepatan yang demikian," kata
Zerefos.
Hasil penelitian itu bisa membantu para ilmuwan
memperbaiki perkiraan fenomena atmosfer modern yang disebut peredupan
global akibat aerosol yang menutupi cahaya matahari.
Dengan
melihat bagaimana gunung api mendinginkan Bumi pada masa lalu, para
ilmuwan bisa mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang pengaruh aerosol
modern.
Penghitungan efek yang sudah lama hilang ini dapat membantu memperbaiki pemodelan dalam memprediksi pemanasan global masa depan.
"Kami
ingin memberikan alternatif cara untuk mengeksploitasi informasi
lingkungan atmosfer pada masa lalu ketika belum ada instrumen
pengukuran," Zerefos. (i018)
Melacak Perubahan Iklim lewat Lukisan Matahari Terbenam
Rabu, 26 Maret 2014 10:36 WIB