Jakarta (ANTARA) - Perusahaan-perusahaan India saat ini cenderung meminjam Rupee dari perbankan dalam negeri, ketimbang dari pasar uang luar negeri.
Tren ini terjadi karena bunga meminjam Rupee 100-150 basis poin lebih rendah dibandingkan bunga pinjaman berdenominasi Dolar AS.
Akibat lebih jauh dari kecenderungan ini adalah perusahaan-perusahaan India menjadi berusaha menggantikan utang berbentuk Dolar AS dengan Rupee.
Menurut laporan Reuters, belum lama ini, ketika bunga pinjaman dalam bentuk Dolar AS naik sampai 275-375 basis poin, bunga di pasar obligasi domestik India hanya naik 150 basis poin.
Tidak heran perusahaan-perusahaan India lebih mencari pinjaman dari dalam negeri dari pada di pasar luar negeri.
Ini konsekuensi logis dari dinamika pasar yang selalu berusaha mencari risiko lebih rendah. Namun, ini juga makin mendorong upaya tak lagi tergantung kepada Dolar AS yang biasa disebut dedolarisasi.
Konsep ini mengemuka ketika terjadi krisis moneter 1998 manakala sistem perekonomian di banyak negara, termasuk Indonesia, ambruk dihantam krisis akibat selisih kurs yang dalam yang menghantam seluruh aktivitas ekonomi untuk kemudian menciptakan gejolak politik dan sosial.
Dedolarisasi mengemuka lagi setelah Amerika Serikat menggunakan dolar sebagai senjata untuk mengikis kemampuan Rusia dalam membiayai perang di Ukraina. Upaya menjadikan mata uang atau aspek-aspek keuangan sebagai senjata politik seperti ini disebut "weaponisasi keuangan".
Kali ini, AS mengusir Rusia dari jaringan SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), sehingga tak bisa mendapatkan dolar untuk membiayai impor dan kesulitan membayar kewajiban internasionalnya sampai berulang kali terancam default atau gagal bayar utang.
SWIFT adalah jaringan pengiriman pesan yang digunakan bank dan lembaga keuangan di dunia untuk mengirimkan dan menerima informasi transaksi secara cepat dan aman.
Sayang, langkah AS ini membuat beberapa negara yang tak ada kaitannya dengan perang di Ukraina, menjadi kian khawatir jika terus tergantung kepada dolar.
Negara-negara, seperti Arab Saudi yang terbiasa menyimpan dan melindungi aset mereka dalam Dolar AS karena dianggap lebih aman, kini mempertimbangkan menerima mata uang selain Dolar AS dari pembeli minyak negara kerajaan itu.
Seruan paling nyaring dipekikkan oleh lima negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
Agustus tahun ini BRICS akan menggelar pertemuan tahunan di Durban, Afrika Selatan. Salah satu agendanya adalah membahas mata uang alternatif untuk Dolar AS.
Asal usul dolar jadi patokan
Meskipun Amerika Serikat merdeka pada 4 Juli 1776, Dolar AS seperti dikenal dunia saat ini baru dicetak pada 1914, setahun setelah negara ini membentuk Federal Reserve yang lalu menjadi standar untuk kebanyakan bank sentral di dunia.
Sepuluh tahun setelah Federal Reserve pertama kalinya mencetak pecahan 10 dolar bergambar Andrew Jackson yang merupakan presiden ketujuh Amerika, dolar resmi menjadi alat tukar global, tetapi pemakaiannya belumlah luas.
Dolar AS sebagai mata uang global baru dikenal pada 1944 saat dunia tengah diliputi Perang Dunia Kedua.
Seperti pada Perang Dunia Pertama, AS aktif memasok senjata dan barang ke negara-negara Eropa yang menjadi sekutunya dalam Perang Dunia Kedua. Eropa membayar AS dengan emas.
Saat itu standar nilai tukar adalah emas sampai dikenal istilah "gold standard" yang lalu menjadi kiasan yang dipakai lebih dari sekadar terminologi ekonomi.
Lama kelamaan AS mengakumulasi emas Eropa. Sebaliknya, stok emas Eropa menipis. Situasi ini menimbulkan persoalan dalam standar nilai tukar di mana Eropa menjadi amat dirugikan jika terus memakai emas.
Sebanyak 44 negara Sekutu lalu bertemu di Bretton Wood, New Hampshire, Amerika Serikat, pada 1944. Salah satu hasil pertemuan ini menghasilkan sebuah sistem nilai tukar yang tidak boleh merugikan siapa pun.
Mengingat posisi emas AS dan Eropa sudah tak seimbang, maka standar emas tak bisa dipakai.
Sebagai gantinya, mereka mengadopsi Dolar AS, apalagi nilai tukar mata uang ini sendiri dipatok terhadap emas. Negara-negara itu lalu sepakat mematok nilai mata uang mereka kepada Dolar AS.
Selama beberapa tahun kemudian negara-negara di dunia ramai membeli surat utang terbitan pemerintah AS karena dolar dianggap tempat paling aman untuk menyimpan modal dan aset.
Kecenderungan itu membesar dari tahun ke tahun, sehingga AS mesti terus mencetak dolar yang jika tak terkendalikan bisa buruk akibatnya terhadap stabilitas dolar sendiri.
Skenario buruk itu membesar manakala AS menceburkan diri dalam Perang Vietnam pada 1960-an. Perang ini menyita sumber daya ekonomi AS, sehingga anggaran mengalami defisit.
Para pemegang dolar di seluruh dunia menjadi semakin khawatir karena situasi ekonomi di AS menjadi lebih rentan yang akibatnya bisa merongrong stabilitas dolar.
Para pemegang Dolar AS itu lalu mengonversi cadangan Dolar AS mereka dengan emas.
Situasi ini membuat Richard Nixon, yang saat itu Presiden Amerika Serikat, melakukan intervensi dengan memutus pematokan dolar kepada emas.
Hasilnya, lahirlah rezim nilai tukar mengambang yang terlihat lebih adil, seperti dikenal sampai kini.
Mesti dibuktikan lagi
Namun, beberapa masa kemudian, Dolar AS tak lagi sekadar nilai tukar, terutama sejak krisis moneter 1998, yang juga menimpa Indonesia.
Krisis ini menciptakan kejatuhan nilai aset, baik swasta maupun negara, yang melahirkan krisis hebat dan memicu gejolak politik serta sosial, kendati pengelolaan ekonomi yang buruk oleh sebagian penguasa menjadi faktor yang tak bisa dikesampingkan.
Di satu sisi, keadaan ini mengakhiri kediktatoran, seperti terjadi di Indonesia. Di sisi lain, hal itu juga memunculkan gagasan untuk tak terlalu tergantung kepada dolar, termasuk mendiversifikasi denominasi aset dengan mata uang selain Dolar AS.
Ternyata, langkah-langkah seperti ini pun tak kunjung meruntuhkan hegemoni dolar.
Menurut harian terkemuka Financial Times baru-baru ini, 60 persen transaksi internasional masih menggunakan dolar AS. Hanya 20 persen menggunakan Euro, sedangkan porsi renminbi China lebih kecil lagi, cuma tiga persen.
Meskipun demikian, realitas itu tak mematikan gagasan dedolarisasi yang menguat lagi akibat perang di Ukraina setelah Amerika Serikat menjadikan dolar sebagai senjata untuk mengamputasi kemampuan Rusia dalam membiayai perang di Ukraina.
Rusia sendiri adalah pihak yang paling bersemangat melancarkan dedolarisasi. Setelah itu China, India, Brazil dan Afrika Selatan.
Kelima negara itu berusaha lebih serius lagi menggarap isu ini dalam KTT BRICS di Afrika Selatan empat bulan nanti.
Entah ini berhasil atau tidak, atau cuma retorika sesaat atau memang tekad kuat membangun arsitektur ekonomi global yang lebih adil, masih harus dibuktikan lagi.
Namun, menjadikan mata uang yang sudah didaulat sebagai nilai tukar global sebagai senjata politik untuk kepentingan segelintir negara adalah memang prilaku tidak adil, sehingga harus dikoreksi.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dedolarisasi mengencang lagi