Badung (ANTARA) - Dialog Tingkat Tinggi yang membahas penerapan Kerangka Kerja Sendai di tingkat kawasan dan global mengawali rangkaian kegiatan Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (GPDRR) di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Badung, Bali, Rabu.
Pertemuan itu, yang digelar dalam format diskusi panel, menghadirkan sejumlah pejabat tinggi seperti menteri, kepala lembaga, dan anggota parlemen dari negara-negara yang menandatangani Kerangka Kerja Sendai/Sendai Framework.
Dialog Tingkat Tinggi itu, yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam, memberi kesempatan bagi para pembicara berbagi pengalaman dalam mencapai sejumlah target yang dicanangkan oleh Kerangka Kerja Sendai.
Kerangka Kerja Sendai merupakan rangkaian target dan panduan bagi negara-negara yang ingin memperkuat kebijakan terkait kesiapsiagaan bencana, dan mengurangi risiko bencana. Dokumen itu telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 2015 setelah melalui proses negosiasi sejak Juli 2014.
Baca juga: Kemenparekraf ajak delegasi GPDRR 2022 wisata ke Pura Taman Ayun
Sejak dokumen itu diadopsi oleh PBB pada 2015, sampai saat ini ada 187 negara yang berkomitmen untuk menerapkan isi Kerangka Kerja Sendai. Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) jadi lembaga yang ditugaskan oleh PBB untuk mengawal penerapan Kerangka Kerja Sendai oleh negara-negara anggota, sementara itu GPDRR jadi acara tahunan yang digelar untuk mengevaluasi penerapan Kerangka Kerja Sendai.
Dalam pertemuan itu, delegasi dari Bangladesh, yang diwakili oleh anggota parlemennya, Saber Hossain Chowdhury, menyampaikan negaranya punya komitmen penuh menggunakan acuan yang ditetapkan dalam Kerangka Kerja Sendai. Pasalnya, Bangladesh merupakan negara yang rentan terkena ragam jenis bencana sehingga kesiapsiagaan menghadapi ancaman itu jadi prioritas.
"Bangladesh tidak sekadar menandatangani dan menyepakati isi Kerangka Kerja Sendai, tetapi kami berkomitmen penuh mengimplementasikannya, dan berupaya memenuhi target-target yang ingin dicapai," kata Chowdhury saat dialog.
Ia pada pertemuan itu juga berbagi pengalaman negaranya dalam penanganan bencana. Chowdhury menyampaikan langkah penting yang dilakukan oleh Bangladesh adalah mengubah cara berpikir (mindset) terutama dalam membuat kebijakan terkait kebencanaan.
"Kami tidak lagi punya pemikiran bahwa kami korban, kami memang korban bencana, tetapi mindset yang kami gunakan saat ini bagaimana kami dapat mencegah bencana itu, dan mengurangi risikonya," kata anggota parlemen Bangladesh itu.
Menurut dia, pola pikir demikian yang menentukan kemampuan negara bangkit dari krisis (resilience).
Baca juga: PBB puji Indonesia berhasil kendalikan COVID untuk perhelatan GPDRR 2022
"Resilience adalah kemampuan untuk menghadapi bencana dan bangkit. Selama pandemi COVID-19, Bangladesh menghadapi banjir dan angin topan pada waktu yang bersamaan. Namun, perekonomian kami saat ini telah bangkit dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7 persen. Itu adalah tanda-tanda resiliensi," kata dia.
Kemudian, Menteri Negara urusan Keamanan Ekonomi dan Manajemen Bencana Jepang Keitaro Ono menyampaikan evaluasinya terhadap penerapan Kerangka Kerja Sendai.
Ia menilai penerapan Kerangka Kerja Sendai kurang mendapat sorotan terutama terkait pencapaian target-targetnya. Oleh karena itu, Ono mengusulkan agar negara-negara dapat membentuk mekanisme/sistem yang dapat mengawasi/memonitor perkembangan implementasi Kerangka Kerja Sendai secara berkala.
Ono juga mengusulkan para pemangku kepentingan membangun mekanisme yang dapat menghimpun berbagai informasi terkait kesiapsiagaan dan penanganan bencana dari negara-negara anggota baik di tingkat nasional sampai ke pemerintah daerah.