Denpasar (Antara Bali) - Lahan sawah di Bali yang telah beralih fungsi mencapai 5.206 hektare selama kurun waktu 2005 hingga 2010 atau setiap tahunnya Pulau Dewata kehilangan sawah rata-rata 1.380 hektare.
"Lahan sawah beririgasi di Bali pada 2005 tercatat 87.850 hektare, namun sekarang hanya masih tersisa 82.664 hektare," kata guru besar pertanian Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia, MS di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan, lahan pertanian beralih fungsi ke non-pertanian itu untuk memenuhi lokasi pembangunan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan, termasuk pembangunan hotel dan pasifitas pariwisata.
Selain itu juga untuk memenuhi lokasi pembangunan perumahan dan pemukiman, khususnya perumahan yang berkembang pesat di wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Kabupaten Tabanan.
Windia menjelaskan, jika alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran itu tidak segera diatasi, dikhawatirkan lahan pertanian di Bali semakin menyusut dan ketahanan pangan sulit dapat dipertahankan.
Selain itu, katanya, dikhawatirkan Bali akan kehilangan keunikan seni budayanya, karena subak selama ini memiliki fungsi ganda, termasuk sebagai aset keunikan budaya Bali yang telah dikenal dunia internasional.
Oleh sebab itu subak yang semakin mendapat desakan akibat pesatnya pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan di Pulau Dewata itu perlu terus dijaga keberadaan dan kesinambungannya.
Peran strategis sebagai peyangga ketahanan pangan, lembaga yang berwatak sosio-kultural itu memiliki kelemahan, yakni ketidakmampuan dalam melawan intervensi pihak eksternal.
Hal itu tercermin dari ketidakmampuan subak memberikan respons yang sepadan terhadap banyaknya pengambilan air irigasi oleh perusahaan daerah air minum (PDAM), komponen sektor pariwisata, pencemaran sampah yang masuk ke saluran irigasi serta meningkatnya nilai pajak bumi dan bangunan (PBB), ujar Prof Windia.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Lahan sawah beririgasi di Bali pada 2005 tercatat 87.850 hektare, namun sekarang hanya masih tersisa 82.664 hektare," kata guru besar pertanian Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia, MS di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan, lahan pertanian beralih fungsi ke non-pertanian itu untuk memenuhi lokasi pembangunan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan, termasuk pembangunan hotel dan pasifitas pariwisata.
Selain itu juga untuk memenuhi lokasi pembangunan perumahan dan pemukiman, khususnya perumahan yang berkembang pesat di wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar dan Kabupaten Tabanan.
Windia menjelaskan, jika alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran itu tidak segera diatasi, dikhawatirkan lahan pertanian di Bali semakin menyusut dan ketahanan pangan sulit dapat dipertahankan.
Selain itu, katanya, dikhawatirkan Bali akan kehilangan keunikan seni budayanya, karena subak selama ini memiliki fungsi ganda, termasuk sebagai aset keunikan budaya Bali yang telah dikenal dunia internasional.
Oleh sebab itu subak yang semakin mendapat desakan akibat pesatnya pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan di Pulau Dewata itu perlu terus dijaga keberadaan dan kesinambungannya.
Peran strategis sebagai peyangga ketahanan pangan, lembaga yang berwatak sosio-kultural itu memiliki kelemahan, yakni ketidakmampuan dalam melawan intervensi pihak eksternal.
Hal itu tercermin dari ketidakmampuan subak memberikan respons yang sepadan terhadap banyaknya pengambilan air irigasi oleh perusahaan daerah air minum (PDAM), komponen sektor pariwisata, pencemaran sampah yang masuk ke saluran irigasi serta meningkatnya nilai pajak bumi dan bangunan (PBB), ujar Prof Windia.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011