Denpasar (Antara Bali) - Sekitar 15 ahli nuklir dari Indonesia, Australia, dan Jepang bertemu dalam pertemuan internasional di Bali, Senin, membahas standar terbaru untuk mengukur efek radiasi dari kegiatan riset, proses alam, dan aktivitas manusia.
Pertemuan itu digelar Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) bekerja sama dengan South Pasific Environmental Radioactivity Association (SPERA) di Sanur, Denpasar, Senin hingga Jumat (9/9).
"Dengan tujuan utama menciptakan standar-standar atau rekomendasi yang dari situ bisa melindungi masyarakat dari kemungkinan bahaya radiasi," kata Kepala Batan Djarot S. Wisnubroto.
Menurut dia, para ilmuwan hingga saat ini masih mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya radiasi mengingat dampak radiasi tidak hanya sesaat, tetapi bisa terjadi dalam jangka panjang, seperti salah satunya di Chernobyl, Ukraina, pada tahun 1986.
"Nanti juga akan terjawab apakah di Chernobyl itu menghasilkan efek negatif atau tidak sama sekali. Sampai saat ini, belum ada suatu temuan signifikan, itu menjawab hanya isu yang terjadi," katanya.
Dengan adanya pertemuan itu, diharapkan dapat memperbaiki aturan internasional terkait dengan standar menyangkut efek radiasi agar tidak menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Seperti kekhawatiran di Mamuju, Sulawesi Barat, terkait dengan radiasi uranium yang dinilai tinggi, menimbulkan ketakutan.
Djarot mengatakan bahwa tingkat harapan hidup di daerah setempat sama dengan Indonesia secara umum.
Ia menuturkan bahwa selama ini standar untuk menentukan efek radiasi yang diciptakan terlalu ketat sehingga malah mengganjal pengembangan untuk kegiatan positif.
Untuk itu, dalam pertemuan tersebut menjadi ajang berbagi data dan informasi tentang sumber radiasi dari berbagai negara yang dihasilkan dari kegiatan penelitian, pengukuran paparan lingkungan, dan aktivitas manusia, termasuk penggunaan sumber radioaktif di industri, kesehatan, dan pertambangan.
"Makanya, data itu dikumpulkan, jangan-jangan standar yang kami ciptakan terlalu ketat, terlalu paranoid," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Pertemuan itu digelar Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) bekerja sama dengan South Pasific Environmental Radioactivity Association (SPERA) di Sanur, Denpasar, Senin hingga Jumat (9/9).
"Dengan tujuan utama menciptakan standar-standar atau rekomendasi yang dari situ bisa melindungi masyarakat dari kemungkinan bahaya radiasi," kata Kepala Batan Djarot S. Wisnubroto.
Menurut dia, para ilmuwan hingga saat ini masih mendiskusikan perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya radiasi mengingat dampak radiasi tidak hanya sesaat, tetapi bisa terjadi dalam jangka panjang, seperti salah satunya di Chernobyl, Ukraina, pada tahun 1986.
"Nanti juga akan terjawab apakah di Chernobyl itu menghasilkan efek negatif atau tidak sama sekali. Sampai saat ini, belum ada suatu temuan signifikan, itu menjawab hanya isu yang terjadi," katanya.
Dengan adanya pertemuan itu, diharapkan dapat memperbaiki aturan internasional terkait dengan standar menyangkut efek radiasi agar tidak menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Seperti kekhawatiran di Mamuju, Sulawesi Barat, terkait dengan radiasi uranium yang dinilai tinggi, menimbulkan ketakutan.
Djarot mengatakan bahwa tingkat harapan hidup di daerah setempat sama dengan Indonesia secara umum.
Ia menuturkan bahwa selama ini standar untuk menentukan efek radiasi yang diciptakan terlalu ketat sehingga malah mengganjal pengembangan untuk kegiatan positif.
Untuk itu, dalam pertemuan tersebut menjadi ajang berbagi data dan informasi tentang sumber radiasi dari berbagai negara yang dihasilkan dari kegiatan penelitian, pengukuran paparan lingkungan, dan aktivitas manusia, termasuk penggunaan sumber radioaktif di industri, kesehatan, dan pertambangan.
"Makanya, data itu dikumpulkan, jangan-jangan standar yang kami ciptakan terlalu ketat, terlalu paranoid," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016