Denpasar (Antara Bali) - Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali Putu Armaya mengatakan pihaknya banyak mendapat pengaduan dari nasabah lembaga pembiayaan tersebut, karena ketika nasabah ada masalah kendaraannya ditarik paksa oleh petugas yang ditunjuk (debcollector).
"Kami mendapatkan pengaduan dari masyarakat (nasabah), dari Januari hingga pertengahan Agustus 2016 sebanyak 42 kasus. Contoh pengaduan dari masyarakat, yakni ketika ada tunggakan hutang, tapi cara pengambilan jaminan kendaraan tersebut langsung diambil di jalan raya oleh petugas `debcollector` bersangkutan," katanya di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan saat ini di Bali banyak lembaga pembiayaan (finance) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen. Lembaga pembiayaan ini dikategorikan dalam lembaga pembiayaan non-bank, yang prosedur pelaksanaannya diatur oleh pemerintah dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.
"Namun fakta di lapangan dalam pelaksanaan lembaga pembiayaan tersebut tidak mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku, serta melakukan penyimpangan dan perbuatan melawan hukum," ujarnya.
Ia mengatakan permasalahan yang diadukan terkait penarikan kendaraan konsumen secara paksa oleh "debcollector", bahkan ada penarikan mobil konsumen menggunakan mobil derek secara paksa.
Menurut Armaya, semestinya lembaga pembiayaan tersebut menarik kendaraan yang dianggap nasabah itu berutang atau tidak bisa meneruskan piutangnya, sebaiknya dicari ke rumahnya dengan menunjukkan bukti pengambilan kendaraan tersebut.
"Mestinya pihak lembaga pembiayaan harus mengikuti aturan dan prosedur tersebut, bukan sebaliknya seperti pencuri mengambil kendaraan di jalan tanpa terlebih dahulu mencari alamat tinggal dari nasabah itu," ujarnya.
Armaya mengatakan sebenarnya kalau konsumen lalai dan telat membayar, pihak lembaga pembiayaan bisa mengambil kendaraan konsumen asalkan sesuai aturan hukum yang berlaku, jangan hanya melihat kesalahan konsumen karena telat bayar, semestinya lembaga pembiayaan juga taat aturan.
Menurut Armaya pelanggaran lembaga pembiayaan di Bali termasuk tinggi, seperti pelanggaran Fidusia, tidak mematuhi SK Kapolri No 8 Tahun 2011, saat menarik kendaraan pihak Finance menggunakan Fidusia palsu, pihak lembaga pembiayaan dalam membuat kontrak perjanjian mencantumkan klausul baku, hal ini melanggar pasal 18 Undang Undang No. 8 Th 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam perjanjian kontrak antara konsumen dengan lembaga pembiayaan disebutkan dengan penyerahan hak milik secara Fidusia tetapi perjanjian Fidusia tersebut, tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran Fidusia untuk mendapatkan sertifikasi Fidusia, sesuai UU 42 Tahun 2009, dan PP No 86 Tahun 2000.
Armaya lebih lanjut mengatakan masih banyak menggunakan perjanjian di bawah tangan tidak ada akta notaris, sehingga tidak dapat dibuatkan sertifikat Fidusia. Lembaga pembiayaan tersebut melakukan perjanjian tidak dihadapan notaris, sehingga hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian di bawah tangan.
Dikatakan, dalam pasal 1320 KUH Perdata disebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya syarat obyektif yang salah satu unsur dari syarat obyektif tersebut adalah perjanjian yang dibuat harus mempunyai kekuatan hukum, jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum.
Dari Data penarikan kendaraan yang tidak sesuai prosedur sudah disidangkan di BPSK Badung, ke depan, Armaya berharap agar pihak lembaga pembiayaan tersebut mematuhi aturan hukum, jangan hanya melihat kesalahan konsumen saja, penarikan kendaraan konsumen juga sah-sah saja oleh lembaga tersebut, tetapi harus melalui aturan hukum yg berlaku.
"Pihak OJK Bali juga harus mampu mengawasi lembaga-lembaga pembiayaan di Bali yang tidak mematuhi aturan dan meresahkan masyarakat," kata Armaya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Kami mendapatkan pengaduan dari masyarakat (nasabah), dari Januari hingga pertengahan Agustus 2016 sebanyak 42 kasus. Contoh pengaduan dari masyarakat, yakni ketika ada tunggakan hutang, tapi cara pengambilan jaminan kendaraan tersebut langsung diambil di jalan raya oleh petugas `debcollector` bersangkutan," katanya di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan saat ini di Bali banyak lembaga pembiayaan (finance) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen. Lembaga pembiayaan ini dikategorikan dalam lembaga pembiayaan non-bank, yang prosedur pelaksanaannya diatur oleh pemerintah dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.
"Namun fakta di lapangan dalam pelaksanaan lembaga pembiayaan tersebut tidak mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku, serta melakukan penyimpangan dan perbuatan melawan hukum," ujarnya.
Ia mengatakan permasalahan yang diadukan terkait penarikan kendaraan konsumen secara paksa oleh "debcollector", bahkan ada penarikan mobil konsumen menggunakan mobil derek secara paksa.
Menurut Armaya, semestinya lembaga pembiayaan tersebut menarik kendaraan yang dianggap nasabah itu berutang atau tidak bisa meneruskan piutangnya, sebaiknya dicari ke rumahnya dengan menunjukkan bukti pengambilan kendaraan tersebut.
"Mestinya pihak lembaga pembiayaan harus mengikuti aturan dan prosedur tersebut, bukan sebaliknya seperti pencuri mengambil kendaraan di jalan tanpa terlebih dahulu mencari alamat tinggal dari nasabah itu," ujarnya.
Armaya mengatakan sebenarnya kalau konsumen lalai dan telat membayar, pihak lembaga pembiayaan bisa mengambil kendaraan konsumen asalkan sesuai aturan hukum yang berlaku, jangan hanya melihat kesalahan konsumen karena telat bayar, semestinya lembaga pembiayaan juga taat aturan.
Menurut Armaya pelanggaran lembaga pembiayaan di Bali termasuk tinggi, seperti pelanggaran Fidusia, tidak mematuhi SK Kapolri No 8 Tahun 2011, saat menarik kendaraan pihak Finance menggunakan Fidusia palsu, pihak lembaga pembiayaan dalam membuat kontrak perjanjian mencantumkan klausul baku, hal ini melanggar pasal 18 Undang Undang No. 8 Th 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam perjanjian kontrak antara konsumen dengan lembaga pembiayaan disebutkan dengan penyerahan hak milik secara Fidusia tetapi perjanjian Fidusia tersebut, tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran Fidusia untuk mendapatkan sertifikasi Fidusia, sesuai UU 42 Tahun 2009, dan PP No 86 Tahun 2000.
Armaya lebih lanjut mengatakan masih banyak menggunakan perjanjian di bawah tangan tidak ada akta notaris, sehingga tidak dapat dibuatkan sertifikat Fidusia. Lembaga pembiayaan tersebut melakukan perjanjian tidak dihadapan notaris, sehingga hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian di bawah tangan.
Dikatakan, dalam pasal 1320 KUH Perdata disebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya syarat obyektif yang salah satu unsur dari syarat obyektif tersebut adalah perjanjian yang dibuat harus mempunyai kekuatan hukum, jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum.
Dari Data penarikan kendaraan yang tidak sesuai prosedur sudah disidangkan di BPSK Badung, ke depan, Armaya berharap agar pihak lembaga pembiayaan tersebut mematuhi aturan hukum, jangan hanya melihat kesalahan konsumen saja, penarikan kendaraan konsumen juga sah-sah saja oleh lembaga tersebut, tetapi harus melalui aturan hukum yg berlaku.
"Pihak OJK Bali juga harus mampu mengawasi lembaga-lembaga pembiayaan di Bali yang tidak mematuhi aturan dan meresahkan masyarakat," kata Armaya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016