Denpasar (Antara Bali) - Gubernur Bali Made Mangku Pastika membatalkan sebanyak 86 peraturan daerah dan peraturan kepala daerah dari sembilan kabupaten/kota di Pulau Dewata.

"Tolok ukur pembatalan perda dan perkada ini ada tiga hal yakni bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, dan bertentangan dengan kesusilaan," kata Kepala Biro Humas Setda Provinsi Bali I Dewa Gede Mahendra, di Denpasar, Jumat.

Dia mengemukakan, ada tiga dasar hukum dilakukannya pembatalan perda yakni pertama mengacu pada pasal 251 ayat 2 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni menentukan bahwa gubernur sebagai wakil pemerinyat pusat berhak membatalkan perda kabupaten/kota dan peraturan bupati/wali kota apabila bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan.

Dasar hukum kedua yakni Permendagri No 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dan Instruksi Mendagri No 582/1107/SJ tentang Penegasan Instruksi Mendagri tentang Pencabutan/Perubahan Perda, Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang Menghambat Birokrasi dan Perizinan Investasi.

Sementara itu, Kepala Biro Hukum Pemprov Bali I Wayan Sugiada merinci dari 86 perda dan peraturan kepala daerah (perkada) yang dibatalkan itu sebanyak 70 dalam bentuk perda, dalam bentuk perkada ada 11 dan 5 perda masih dalam proses.

Dia menegaskan pembatalan perda bukan berarti perda maupun perkada dicabut secara keseluruhan karena sesuai dengan pasal 1 angka 27 Permendagri No 80 Tahun 2015 disebutkan bahwa pembatalan adalah tindakan menyatakan tidak berlakunya terhadap seluruh atau sebagian buku, bab, bagian paragraf, pasal, ayat dan atau lampiran materi muatan perda, perkada, dan peraturan bersama kepala daerah dan peraturan DPRD.

"Jadi pembatalan itu bukan berarti lantas adanya kekosongan hukum karena nomor produk hukumnya masih tetap ada," ucap Sugiada.

Dari 86 perda dan perkada yang dibatalkan tersebut, dia mencontohkan perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti Perda Kabupaten Karangasem No 13 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan. Hal ini seiring dengan peralihan kewenangan pengelolaannya dari pemerintah kabupaten ke provinsi sesuai dengan UU Pemerintah Daerah.

Demikian juga dengan Perda Karangasem No 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi itu sudah ada perubahan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan yang bertentangan dengan kepentingan umum seperti Perda Kotamadya Tingkat II Denpasar No 19 Tahun 1995 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah.

"Sumbangan pihak ketiga ini isinya sangat-sangat kabur, namanya sumbangan bisa saja yang menyumbang 100, tetapi dimasukkan 50. Perda ini juga tidak pernah digunakan," ucap mantan penjabat Bupati Tabanan itu.

Sugiada mengatakan bahwa perda seharusnya dibuat untuk dilaksanakan dan akan bahaya jika terjadi pungutan-pungutan yang tidak jelas.

Dia menambahkan, khususnya di Bali tidak ada perda yang dibatalkan gara-gara bertentangan dengan norma kesusilaan. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016