Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar memamerkan sejumlah foto retrospektif karya fotografer IB Putra Adnyana (Gustra) selama sepekan mulai 15-22 Mei 2016.
"Pameran tersebut mengusung tema `Tiga Dasa Warsa, Tiga Sisi Rupa`," kata panitia kegiatan tersebut Putu Fajar Arcana di Denpasar, Rabu.
Dalam pameran tersebut, Gustra menampilkan sekitar 50 karya terpilih yang berangkat dari capaian seni fotografinya, mewakili pengelanaan dan pencarian kreatifnya yang lintas zaman.
Turut memaknai pembukaan pameran tersebut, akan ditampilkan pula pemutaran dokumenter proses kreatif Gustra dan pertunjukan tari karya koreografer I Wayan Purwanto.
Menurut Putu Fajar Arcana, pameran `Tiga Dasa Warsa, Tiga Sisi Rupa` telah menjadi berkas yang hidup untuk membuktikan sebuah metamorfosa yang telah dijalani seniman foto seperti Gustra.
"Sebagaimana karakter dasar fotografi, Gustra berangkat dari realisme. Bahkan rasionalitas, yang menyertai gerakan pemikiran ini di Eropa, diterapkan secara nyata saat fotografer ini bersikap realistis," ungkap Fajar Arcana.
Foto-foto Gustra lebih dari sekadar dokumentasi, berkisar pada kehidupan ritual dan upacara tradisi di Bali, serta kenyataan sosial sehari-hari yang menyiratkan kritik dan ironi tersendiri.
Sebagai fotografer Gustra (58) tak puas sekadar menjadi penyalin realitas, sebagaimana yang dihasratkan dalam realisme. Ia kemudian melompat dengan menyatukan perca-perca visual ke dalam satu bidang gambar.
Pada periode ini ia memakai bahasa surealisme untuk mengkomunikasikan ide-idenya kepada publik. Kendati basis kerjanya tetap bertumpu pada foto-foto realistik, tetapi foto-foto itu disatukan untuk mendukung satu gagasan yang mengejutkan imajinasi.
Keseluruhan karya yang dipamerkan kali ini, dipilah dalam tiga pilihan bentuk dan tematik, yakni "Documentary Culture Photography", "Composite Photography", dan "Fusion Photography".
Ini sesungguhnya mencerminkan sebentuk metamorfosis Gustra sebagai seorang pencipta, sekaligus menggambarkan transformasi sosial kultural Bali.
"Lebih dari 30 tahun saya mengenal kamera, dari era analog hingga kini digital. Sepanjang itu pula, saya menyadari proses cipta melalui lensa, menuntut kreativitas yang tangguh pula," ungkap Gustra yang merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Lebih lanjut, fotografer peraih berbagai penghargaan internasional itu menyatakan, bahwa tiga sisi rupa yang dihadirkannya dalam pameran tersebut, sesungguhnya berlatar tiga hal yang menjadi pemahaman dan pengalamannya selama ini.
"Ada hal-hal mendasar yang mewarnai proses teknik, tematik, serta juga akhirnya membentuk stilistik karya-karya saya. Pertama adalah tentang cahaya dan pengaruhnya dalam dunia cipta fotografi, kedua perihal sosok atau subyek utama fotografi saya (wanita dengan segala keindahannya), serta ketiga berupa kesadaran sebagai seniman, bahwa seni juga bermakna untuk kemanusiaan," ujar Gustra. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Pameran tersebut mengusung tema `Tiga Dasa Warsa, Tiga Sisi Rupa`," kata panitia kegiatan tersebut Putu Fajar Arcana di Denpasar, Rabu.
Dalam pameran tersebut, Gustra menampilkan sekitar 50 karya terpilih yang berangkat dari capaian seni fotografinya, mewakili pengelanaan dan pencarian kreatifnya yang lintas zaman.
Turut memaknai pembukaan pameran tersebut, akan ditampilkan pula pemutaran dokumenter proses kreatif Gustra dan pertunjukan tari karya koreografer I Wayan Purwanto.
Menurut Putu Fajar Arcana, pameran `Tiga Dasa Warsa, Tiga Sisi Rupa` telah menjadi berkas yang hidup untuk membuktikan sebuah metamorfosa yang telah dijalani seniman foto seperti Gustra.
"Sebagaimana karakter dasar fotografi, Gustra berangkat dari realisme. Bahkan rasionalitas, yang menyertai gerakan pemikiran ini di Eropa, diterapkan secara nyata saat fotografer ini bersikap realistis," ungkap Fajar Arcana.
Foto-foto Gustra lebih dari sekadar dokumentasi, berkisar pada kehidupan ritual dan upacara tradisi di Bali, serta kenyataan sosial sehari-hari yang menyiratkan kritik dan ironi tersendiri.
Sebagai fotografer Gustra (58) tak puas sekadar menjadi penyalin realitas, sebagaimana yang dihasratkan dalam realisme. Ia kemudian melompat dengan menyatukan perca-perca visual ke dalam satu bidang gambar.
Pada periode ini ia memakai bahasa surealisme untuk mengkomunikasikan ide-idenya kepada publik. Kendati basis kerjanya tetap bertumpu pada foto-foto realistik, tetapi foto-foto itu disatukan untuk mendukung satu gagasan yang mengejutkan imajinasi.
Keseluruhan karya yang dipamerkan kali ini, dipilah dalam tiga pilihan bentuk dan tematik, yakni "Documentary Culture Photography", "Composite Photography", dan "Fusion Photography".
Ini sesungguhnya mencerminkan sebentuk metamorfosis Gustra sebagai seorang pencipta, sekaligus menggambarkan transformasi sosial kultural Bali.
"Lebih dari 30 tahun saya mengenal kamera, dari era analog hingga kini digital. Sepanjang itu pula, saya menyadari proses cipta melalui lensa, menuntut kreativitas yang tangguh pula," ungkap Gustra yang merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Lebih lanjut, fotografer peraih berbagai penghargaan internasional itu menyatakan, bahwa tiga sisi rupa yang dihadirkannya dalam pameran tersebut, sesungguhnya berlatar tiga hal yang menjadi pemahaman dan pengalamannya selama ini.
"Ada hal-hal mendasar yang mewarnai proses teknik, tematik, serta juga akhirnya membentuk stilistik karya-karya saya. Pertama adalah tentang cahaya dan pengaruhnya dalam dunia cipta fotografi, kedua perihal sosok atau subyek utama fotografi saya (wanita dengan segala keindahannya), serta ketiga berupa kesadaran sebagai seniman, bahwa seni juga bermakna untuk kemanusiaan," ujar Gustra. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016