London (Antara Bali) - Amnesty International mengecam penangkapan massal para aktivis politik Papua oleh Kepolisian Indonesia baik pada dua provinsi di Papua maupun provinsi lainnya meskipun telah mengakhiri penangkapan massal dan pembatasan unjuk rasa damai.
Hampir semua dari mereka yang ditangkap memang telah dibebaskan tanpa dakwaan setelah satu hari, dalam penangkapan para aktivis politik di Papua, ujar Deputy Director-Campaigns South East Asia and Pacific Regional Office Amnesty International Josef Roy Benedict, di London, Kamis.
Menurut Josef, mereka ditangkap semata-mata karena menjalankan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.
Menurutnya, mereka yang masih ditahan harus dibebaskan tanpa syarat dan segera.
Dia menyebutkan sekitar 1.700 aktivis Papua ditangkap pada 2 Mei, setelah mengorganisir dan berpartisipasi dalam serangkaian unjuk rasa damai di Jayapura, Merauke, Fakfak, Sorong, dan Wamena di Provinsi Papua dan Papua Barat, di Semarang Provinsi Jawa Tengah, dan di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.
Unjuk rasa tersebut diorganisir pendukung ULMWP (The United Liberation Movement for West Papua), kelompok pro-kemerdekaan Papua, untuk dukungannya terhadap aplikasi organisasi ini sebagai anggota penuh dari MSG (The Melanesian Spearhead Group), organisasi antar-pemerintah sub-regional Pasifik.
Sebelum unjuk rasa, antara 29 April dan 1 Mei, kepolisian di Provinsi Papua dan Papua Barat menangkap sekitar 50 aktivis Papua di Jayapura, Wamena, dan Merauke ketika membagikan selebaran mengajak orang untuk bergabung dalam unjuk rasa tersebut.
Pada 2 Mei, kepolisian di Semarang, Jawa Tengah dan Makassar, Sulawesi Selatan menangkap masing-masing sekitar 45 dan 42 aktivis Papua.
Di Provinsi Papua Barat, kepolisian di Sorong dan Fakfak menangkap paling tidak 67 aktivis Papua selama unjuk rasa damai pada 2 Mei.
Di provinsi Papua, kepolisian menangkap sekitar 130 pengunjuk rasa damai di Merauke dan Wamena pada 2 Mei. Kepolisian di Jayapura menangkap sekitar 1.450 aktivis.
Diakuinya penggunaan metode penangkapan yang meluas di Papua, menjadi upaya membuat jera bagi kegiatan-kegiatan politik, menekan praktik berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi.
Amnesty International mengakui Pemerintah Indonesia perlu menjaga keamanan publik di semua wilayahnya.
Namun demikian, menurutnya, harus dipastikan segala pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai sesuai dengan kewajiban Indonesia di bawah hukum HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi pula oleh Indonesia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Hampir semua dari mereka yang ditangkap memang telah dibebaskan tanpa dakwaan setelah satu hari, dalam penangkapan para aktivis politik di Papua, ujar Deputy Director-Campaigns South East Asia and Pacific Regional Office Amnesty International Josef Roy Benedict, di London, Kamis.
Menurut Josef, mereka ditangkap semata-mata karena menjalankan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.
Menurutnya, mereka yang masih ditahan harus dibebaskan tanpa syarat dan segera.
Dia menyebutkan sekitar 1.700 aktivis Papua ditangkap pada 2 Mei, setelah mengorganisir dan berpartisipasi dalam serangkaian unjuk rasa damai di Jayapura, Merauke, Fakfak, Sorong, dan Wamena di Provinsi Papua dan Papua Barat, di Semarang Provinsi Jawa Tengah, dan di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.
Unjuk rasa tersebut diorganisir pendukung ULMWP (The United Liberation Movement for West Papua), kelompok pro-kemerdekaan Papua, untuk dukungannya terhadap aplikasi organisasi ini sebagai anggota penuh dari MSG (The Melanesian Spearhead Group), organisasi antar-pemerintah sub-regional Pasifik.
Sebelum unjuk rasa, antara 29 April dan 1 Mei, kepolisian di Provinsi Papua dan Papua Barat menangkap sekitar 50 aktivis Papua di Jayapura, Wamena, dan Merauke ketika membagikan selebaran mengajak orang untuk bergabung dalam unjuk rasa tersebut.
Pada 2 Mei, kepolisian di Semarang, Jawa Tengah dan Makassar, Sulawesi Selatan menangkap masing-masing sekitar 45 dan 42 aktivis Papua.
Di Provinsi Papua Barat, kepolisian di Sorong dan Fakfak menangkap paling tidak 67 aktivis Papua selama unjuk rasa damai pada 2 Mei.
Di provinsi Papua, kepolisian menangkap sekitar 130 pengunjuk rasa damai di Merauke dan Wamena pada 2 Mei. Kepolisian di Jayapura menangkap sekitar 1.450 aktivis.
Diakuinya penggunaan metode penangkapan yang meluas di Papua, menjadi upaya membuat jera bagi kegiatan-kegiatan politik, menekan praktik berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi.
Amnesty International mengakui Pemerintah Indonesia perlu menjaga keamanan publik di semua wilayahnya.
Namun demikian, menurutnya, harus dipastikan segala pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai sesuai dengan kewajiban Indonesia di bawah hukum HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi pula oleh Indonesia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016