Singaraja (Antara Bali) - Sebanyak 22 kepala keluarga (KK) anggota Kelompok Nelayan Astiti Amerta yang menjadi korban penggusuran di pinggir Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali, sampai kini masih tinggal di pengungsian.
"Kami kini tinggal dengan mendirikan gubuk atau rumah semi permanen di atas tanah milik orang lain di Desa Munduk," kata seorang korban penggusuran, Ketut Mangku Saputra, Selasa.
Ia menjelaskan, setahun lalu mereka digusur dimana rumah semi permanen 22 KK berlokasi di pinggir danau dirobohkan karena tanah di wilayah itu diklaim sebagai tanah areal pura (pelabapura) yang harus disucikan dan terbebas dari pemukiman.
Menurut dia, ketika itu sebetulnya mereka tidak pernah menolak untuk direlokasi, warga korban penggusuran masih menunggu kepastian dari Pemkab Buleleng sebelum direlokasi.
Namun ketika masih belum ada solusi ke mana mereka harus tinggal setelah direlokasi, rumah-rumah mereka sudah dirobohkan. "Padahal kami tidak pernah menolak untuk direlokasi dari tanah enclave Danau Tamblingan tersebut," katanya.
Sementara itu, Saputra berharap agar Pemkab Buleleng maupun Pemprov Bali memberikan lahan untuk tempat tinggal warga korban penggusuran. Tidak itu saja.
Dikatakan pula, pihaknya juga meminta jaminan dari pemerintah agar korban penggusuran diberikan hak untuk tetap beraktivitas di danau sebagai nelayan maupun sebagai pemandu wisata.
"Kami mohon agar pencaharian kami sebagai nelayan untuk tetap melakukan aktivitas di danau baik menangkap ikan maupun memberikan pelayanan pengunjung yang datang ke Danau Tamblingan karena itulah yang dapat kami lakukan untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak kami," ucapnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Kami kini tinggal dengan mendirikan gubuk atau rumah semi permanen di atas tanah milik orang lain di Desa Munduk," kata seorang korban penggusuran, Ketut Mangku Saputra, Selasa.
Ia menjelaskan, setahun lalu mereka digusur dimana rumah semi permanen 22 KK berlokasi di pinggir danau dirobohkan karena tanah di wilayah itu diklaim sebagai tanah areal pura (pelabapura) yang harus disucikan dan terbebas dari pemukiman.
Menurut dia, ketika itu sebetulnya mereka tidak pernah menolak untuk direlokasi, warga korban penggusuran masih menunggu kepastian dari Pemkab Buleleng sebelum direlokasi.
Namun ketika masih belum ada solusi ke mana mereka harus tinggal setelah direlokasi, rumah-rumah mereka sudah dirobohkan. "Padahal kami tidak pernah menolak untuk direlokasi dari tanah enclave Danau Tamblingan tersebut," katanya.
Sementara itu, Saputra berharap agar Pemkab Buleleng maupun Pemprov Bali memberikan lahan untuk tempat tinggal warga korban penggusuran. Tidak itu saja.
Dikatakan pula, pihaknya juga meminta jaminan dari pemerintah agar korban penggusuran diberikan hak untuk tetap beraktivitas di danau sebagai nelayan maupun sebagai pemandu wisata.
"Kami mohon agar pencaharian kami sebagai nelayan untuk tetap melakukan aktivitas di danau baik menangkap ikan maupun memberikan pelayanan pengunjung yang datang ke Danau Tamblingan karena itulah yang dapat kami lakukan untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak kami," ucapnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016