Perjalanan kehidupan Arthanegara menghadirkan jejak keberanian dan perjuangan yang penuh tantangan hingga dikagumi para tokoh bangsa, mulai Abdul Haris nasution, Adam Malik hingga Soeharto. posisi Arthanegara yang nasionalis rela meninggalkan tugas belajarnya di Negara Tiongkok dengan menyisakan romantisme bersama gadis Thailand yang lama membekas di hatinya. Namun pendekar KNPI Bali zaman Orde Baru ini tidak kehilangan akal segera mencari penggantinya gadis Bali keturunan Tiongkok Poi Gwan Nio dan dikaruniai dua anak Gusti Ayu Mas Sri Apsari, SH., MH. dan I Gusti Bagus Dharma Putra S.Sn.


Tentu saja berita ini mengejutkan dan sekaligus membingungkan. Dari segi kuliah tentu tidak ada masalah karena sehari-harinya hanya ada satu atau dua mata kuliah saja. Masalahnya adalah aku hanya seorang lulusan SMA dan bukan SPG (Sekolah Pendidikan Guru ) yang memang bertujuan untuk itu. Karena itu perintah dari ayahku dan tidak mungkin aku akan berani menolaknya, maka pagi-pagi aku sudah menghadap kepala sekolah. Dengan tenangnya kepala sekolahku berkata "Ya, saya sudah dipanggil yayasan, mulai besok anda memegang pelajaran bahasa Inggris."
    
Lalu dipanggilnya guru bahasa Inggris yang sudah ada yang ternyata umurnya sebaya dengan umur kakakku yang nomor tiga. Dia sudah lama menjadi guru di sana. Dengan wajah tidak puas mungkin karena penampilanku yang berperawakan kecil dan kurus atau mungkin juga karena kecewa jam mengajarnya menjadi berkurang gara-gara kehadiranku. Kepadaku lalu diberikan buku pegangan untuk mengajar. Sehari itu aku bekerja keras. Aku memcoba mencari-cari sosok guru idolaku waktu SD, SMP dan SMA yang dapat dijadikan contoh.

Aku pelajari materi bahasa Inggris yang kuterima kemarin dari guru senior yang kini jadi temanku dan sekaligus sainganku. Semalaman aku tidak bisa tidur dengan baik. Aku begitu percaya diri dengan modalku belajar bahasa asing waktu di SMA bagian A (Sastra) begitu banyak (Bahasa Inggris, Jerman dan Prancis ). Modal keduaku adalah aku sudah sering tampil di depan umum baik sebagai MC, bermain drama, pidato ataupun poetry reading dan lain-lain. Modalku ketiga adalah aku sudah membayangkan bahwa aku akan mengajar dengan gaya guru sejarahku di SMP yang akan dikombinasikan dengan gaya guru aljabarku di SMA.
    
Dengan tiga modal itu aku melangkah masuk kelas dengan rasa penuh percaya diri. Rupanya aku ternyata salah strategi. Karena begitu masuk kelas, tiba-tiba para siswa berdiri. Aku kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi secara serentak anak-anak mengucapkan "Om Suastiastu". Aku sendiri tidak tahu harus menjawab dengan apa, sebab ucapan itu tidak ada waktu itu di sekolah lain dan hanya menjadi ciri khas di sekolah Dwijendra.

Dwijendra memang dikenal sebagai sekolah berbasis agama dengan salah satu ciri khasnya adalah ucapan "Om Suastyastu." Mungkin atau boleh orang menertawakan kebodohanku kalau dibandingkan dengan keadaan sekarang dimana ucapan "Om Suastyastu" sudah menjadi ucapan yang menasional. Waktu aku menjadi guru, dulu itu bagi orang yang bukan keluarga Dwijendra salam itu masih terasa asing. Demikian juga dengan sebutan agama Hindu Dharma dan Hindu Bali masih belum ada kesepakatan yang pasti waktu itu.
   
Untungnya keterkejutanku waktu itu tidak menjadikan aku shock mental. Pelajaran bahasa Inggris yang kuberikan dapat kuberikan sesuai rencana. Tapi ternyata persiapanku bukan untuk waktu 90 menit. Mungkin masih sisa 15 menit lagi untuk menunggu bel pergantian mata pelajaran. Ditambah lagi di luar kulihat guru senior bahasa Inggris yang kutemui kemarin mondar-mandir di depan kelas seperti mensupervisi caraku mengajar. Akal dadakanku datang lagi. Ku ajak anak-anak menyanyi dengan menembangkan A, A,C, D dan seterusnya dalam ejaan bahasa Inggris.  
 
Kemudian kubuka ruang tanya jawab dan akhirnya akupun mengakhiri pelajaran pertamaku dengan sukses. Murid-murid bertepuk tangan dan guru senior tadi menyalamiku dengan hangat. Dengan gaya yang merendah aku tetap memohon bimbingannya. Akhirnya dia buka kartu kalau dia adalah teman sekelas kakakku waktu di SGA (Sekolah Guru Atas ) dan mengenal keluargaku dengan baik.

Dia memuji cara mengajarku dan sejak itu pula kami menjadi sahabat yang baik. Rupanya cara mengajarku itu sampai juga ke telinga kepala sekolahku. Kemudian aku ditambahkan dengan mengajar mata pelajaran yang lain mulai dari pelajaran Bahasa Indonesia dan Ilmu Bumi. Total seluruhnya aku bisa mengajar sampai 35 jam pelajaran seminggunya dengan honor sebesar Rp1,00 (satu rupiah ) per jam. Uang Rp35,00 memang cukup bagiku untuk mentraktir cewek idamanku untuk nonton film ataupun makan bersama para seniman di warung sengol yang ada di jalan Sulawesi.

Itulah memang kondisi kita waktu itu. Belum ada kenal istilah guru profesional. Siapa saja mau mengajar apa, asal berani dipersilakan. Penghasilan guru memang tidak seberapa. Hal ini makin terlihat ketika Grand Bali Beach Sanur dibuka dan mencari karyawan baru. Cukup banyak guru-guru yang eksodus menjadi karyawan hotel. Tentu hal ini tidak ada yang salah. Sebab kenyataannya, menjadi guru untuk bisa beli sepeda saja rasanya jauh dari jangkauan. Tetapi menjadi karyawan hotel, dalam beberapa bulan saja sudah bisa beli sepeda motor. Namun demikian, masih banyak juga orang mencintai pekerjaan seorang guru waktu itu. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016