Perjalanan kehidupan Arthanegara menghadirkan jejak keberanian dan perjuangan yang penuh tantangan hingga dikagumi para tokoh bangsa, mulai Abdul Haris nasution, Adam Malik hingga Soeharto. posisi Arthanegara yang nasionalis rela meninggalkan tugas belajarnya di Negara Tiongkok dengan menyisakan romantisme bersama gadis Thailand yang lama membekas di hatinya. Namun pendekar KNPI Bali zaman Orde Baru ini tidak kehilangan akal segera mencari penggantinya gadis Bali keturunan Tiongkok Poi Gwan Nio dan dikaruniai dua anak Gusti Ayu Mas Sri Apsari, SH., MH. dan I Gusti Bagus Dharma Putra S.Sn.

Belajar, Bekerja, dan Bercinta

Tamat SMA Negeri 1 pada tahun 1963 aku melanjutkan ke Fakultas Sastra Universitas Udayana. Aku mengambil jurusan (program Studi ) Anthropologi. Di samping karena jurusan sejarah belum di buka, ada hal yang menarik mempelajari manusia dengan segala aktivitasnya itu. Ada kedekatan antara anthropologi dengan sejarah, yang baru dibuka tahun berikutnya.

Apalagi saat aku membaca buku yang menceritakan tentang bagaimana tentara Inggris yang berada di Thailand dengan mudahnya dilumpuhkan oleh tentara Jepang yang mengepung dari lautan. Berkat saran anthropolog Jepang, dari laut di kumandangkan lagu-lagu rakyat Inggris. Lagu-lagu inilah yang membuat para tentara Inggris semangat tempurnya langsung anjlok dan rindu kepada sanak keluarganya di kampong halamannya.

Demikian juga dengan cerita peran seorang anthropolog saat menundukkan sebuah kerajaan yang dengan gigihnya bertahan pada benteng bambu yang sulit ditembus tentara penjajah. Dengan saran seorang anthropolog, tentara penjajah tidak lagi menembakkan peluru. Tapi yang ditembakkan dan dihamburkan penjajah ke benteng bambu itu adalah uang recehan dan uang kertas. Tentu saja prajurit kerajaan dan rakyat ramai-ramai menebang benteng bambu itu untuk mendapatkan uang yang dihambur-hamburkan ke benteng.
    
Aku sendiri tidak yakin dengan kebenaran cerita itu, tapi diam-diam hatiku merasakan kehebatan peranan seorang anthropologi. Apalagi sewaktu kuliah kami diperkenalkan dengan riset ke desa-desa seperti Tenganan Pegringsingan, Trunyan, Sembiran, Sepang dan lain-lain. Kebanggaan menjadi mahasiswa anthropologi semakin membara di dada. Terlebih-lebih dengan seragam jaket kuning yang terbuat dari katun buatan balitex, membuat status mahasiswa waktu itu seperti mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat.

Waktu itu di samping Perguruan tinggi yang ada masih langka, menjadi menantu dengan predikat sarjana masih merupakan idaman para calon mertua. Di saat-saat tamu dari negara asing terutama dari Negara the New Emerging Forces, maka para mahasiswa mendapat tempat tersendiri  sebagai panitia penyambutan.

Kuliah waktu itu tidak memakai sistem semester, tapi memakai sistem tingkat, mulai tingkat I, tingkat II, tingkat III (berhak menyandang gelas Bachelor of Art), tingkat IV dan tingkat V (lulus dengan gelas sarjana (Drs). Setiap tingkat mendapatkan ijazah. Sebagai seorang aktivis sewaktu di SMA dalam barisan GSNI, kami ikut bergabung dalam gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ), bahkan dalam lembaga Kebudayaan Nasional (LKN).

Di kampus aku juga sempat terpilih menjadi ketua senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana. Di samping hobi berkesenian yang tak dapat kubendung, kegiatan sebagai aktivis mahasiswa membuatku semakin lengkap untuk jarang tingal di rumah.

Sering teman-temanku datang ke rumah mencariku, tapi jawaban yang didapat dari ibuku adalah bahwa aku sudah sejak tiga hari yang lalu belum pulang. Celakanya lagi adalah, karena kami sebelas bersaudara, ibuku sering lupa dengan namaku yang resmi. Tapi kalau ditanya nama panggilan sehari-hari beliau baru segera mengingatnya. Apalagi kalau beliau di tanya aku ini anak yang keberapa, maka beliau harus menghitung dulu dari anak yang pertama sampai dengan nomor urutku.
    
Rupanya ayahku juga memperhatikan keadaanku ini. Kebetulan beliau duduk sebagai pengurus yayasan di sekolah Dwijendra. Khawatir aku jadi anak yang liar, maka pada suatu hari aku di panggilnya. Dikatakannya bahwa aku sudah dicarikan kerja di SMP Dwijendra dan mulai keesokan harinya harus sudah mulai menjadi guru di sekolah tersebut. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016