Perjalanan kehidupan Arthanegara menghadirkan jejak keberanian dan perjuangan yang penuh tantangan hingga dikagumi para tokoh bangsa, mulai Abdul Haris nasution, Adam Malik hingga Soeharto. posisi Arthanegara yang nasionalis rela meninggalkan tugas belajarnya di Negara Tiongkok dengan menyisakan romantisme bersama gadis Thailand yang lama membekas di hatinya. Namun pendekar KNPI Bali zaman Orde Baru ini tidak kehilangan akal segera mencari penggantinya gadis Bali keturunan Tiongkok Poi Gwan Nio dan dikaruniai dua anak Gusti Ayu Mas Sri Apsari, SH., MH. dan I Gusti Bagus Dharma Putra S.Sn.


Tapi semua tentu ada hikmahnya. Dengan mengulang di kelas 5 penguasaan terhadap mata pelajaran untuk mengadapi ujian akhir menjadi semakin mantap.

Aku sering mendapat juara kelas dan nilai ujian akhirku di kelas enam ternyata tidaklah terlalu buruk. Tapi saat melanjutkan ke SMP aku justru tidak berminat untuk memilih sekolah SMP  negeri dekat rumahku.

Aku memilih untuk masuk SLUB I (Sekolah Lanjutan Umum Bersubsidi I ) Saraswati yang semula bertempat di jalan Nangka (Tainsiat) dan kemudian pindah ke jalan Kamboja (Kreneng). Aku juga heran kemudiannya kenapa aku tidak memilih sekolah negeri padahal kakak kandungku adalah guru pengajar di sana. Mungkin waktu itu tidak ada sistem surat sakti dan mungkin juga karena ajakan teman-teman dekatku di sekolah dan tetangga rumahku. Tapi dikotomi antara sekolah swasta dan Negeri, waktu itu tidak terasa benar dalam hidupku. Bahkan ada rasa banggaku kemudian karena aku ternyata masuk pada sekolah perjuangan yang dirintis oleh para pejuang Republik Indonesia yang ada di Bali.
    
Di SMP aku cukup banyak kenangan selama menjadi siswa. Meskipun aku tidak bisa anyam menganyam dan memotong bambu, karena aku tidak pernah hidup di desa, tapi waktu itu (tahun 1957) oleh guru pekerjaan tangan (kemudian di sebut prakarya dan keterampilan) para siswa diajarkan membuat klangsah (janur kering).

Membuat kipas yang dianyam dengan bambu, membuat alat musik dari bambu yang disebut dengan genggong, membuat topi dari janur dan lain-lain. Pelajaran itu sangat baik dan bermanfaat sebenarnya, tapi lagi-lagi karena kenakalanku dan tidak pernah hidup di desa aku termasuk anak yang malas menyelesaikan tugas-tugasku. Aku sering kena marah tapi kemudian beliau menjadi sahabatku yang sangat akrab dan kuhormati, karena ketika aku kemudian  menjadi pengawas sekolah aku sering bertemu dengan beliau dalam tugasnya yang sudah  pindah menjadi guru di Kabupaten Gianyar.

Guru lain yang membekas dihatiku adalah guru sejarah, biasanya beliau memulai pelajaran dengan menggambar peta di papan tulis. Gambarannya sangat bagus dan jelas menunjukkan kota-kota yang akan diterangkan dalam perjalanan sejarah. Suaranya yang menggelegar dan mirip orang lagi berpidato membuat para siswa seperti menonton film sejarah yang lagi tayang di layar lebar.

Gaya mengajarnya banyak kutiru saat aku menjadi guru dan mungkin itu pula kemudian yang membuat aku mendalami pekerjaan sejarah saat mengikuti kuliah. Guru lain yang menjadi perhatianku juga adalah guru bahasa Indonesia. Mungkin karena aku menjadi langganan tetap perpustakaan sejak sekolah rakyat atau mungkin saja karena dunia karang-mengarang sudah mulai menjalar dalam darah kesenianku.

Dengan perawakanku yang kecil dan pendek kurus waktu itu, aku memiliki suara yang cukup keras. Sehingga kalau ada pelajaran menyanyi suaraku dari kelas A akan bisa terdengar sampai kelas E. Sebuah modal juga di kemudian hari saat aku berdeklamasi (Poetry reading) bermain drama atau saat berpidato di depan umum. Apalagi saat menjadi ketua KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Provinsi Bali, juga jadi guru ataupun jadi Ketua Yayasan dan jadi Master Of Ceremony (MC). Sebagai anak-anak yang mulai merangkak remaja aku tidak bisa terhindar dari cinta monyet. Usia yang masih setingkat SMP ternyata sudah mulai mengenal arti sebuah cinta, walaupun tidak kuketahui apa makna dari sebuah jatuh cinta. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016