Memenangkan lomba mozaik yang diadakan Presiden Soekarno untuk seniman se-Indonesia, perlahan-lahan mengendapkan rasa haru di hati Nyoman Gunarsa. Kesadaran kian mengental bahwa melukis memang jalan hidup yang telah diguratkan dan digariskan Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa untuknya. Melukis adalah jalan hidupnya, laksana aliran oksigen yang setiap hati mengisi rongga hari-harinya.
    
Nama Gunarsa mulai disebut-sebut dalam kancah seni lukis Tanah Air.
    
Tahun 1963, Indonesia mengadakan perhelatan ajang olahraga skala internasional Ganefo (Games of the New Emerging Force), sebuah kejuaraan olahraga ala negara-negara anti-imperialis yang diikuti 2.200 atlet dari 48 negara Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa (Timur) pada tahun itu.
    
Seusai gelaran acara, Presiden Soekarno berencana mengadakan pertemuan dengan sejumlah pejabat yang terlibat dalam kegiatan di Ganefo, untuk bertandang ke Istana Tampaksiring - Gianyar - Bali. Gunarsa lantas ditawari untuk membuat 24 poster lukisan sepanjang Bandar Udara Ngurah Rai sampai Istana Tampak Siring. Gunarsa menyambut baik tawaran itu.
    
"Saya kemudian dikasih uang Rp200 juta, di dalam tas ransel tentara. Wah ... langsung saya membeli sepeda motor Suzuki sport warna biru. Bersama adik kelas dari Madura Nur Ali, saya kemudian berangkat dari Yogyakarta naik sepeda motor itu. Menuju Surabaya," kenang lelaki multi talenta ini.
    
Sepanjang perjalanan, gelegak semangat membuncah di dada Gunarsa. Jarak sepanjang 325 kilometer yang membentang antara Yogyakarta dan Surabaya, seolah hanya beberapa jengkal saja terasa. Tahu-tahu, di satu hari yang menjelang malam, Gunarsa dan Nur Ali sampai di Stasiun Gubeng - Surabaya.
    
Gunarsa terpikir ingin menginap di hotel yang berdekatan dengan stasiun agar dapat beristirahat dengan tenang, sembari menunggu jam kedatangan kereta. Namun, Nur Ali berpendapat lain. Nur Ali justru mengajak Gunarsa menginap saja di stasiun agar langsung siap jika kereta tiba.
    
Gunarsa menyetujui ajakan itu. Keduanya kemudian merebahkan di lantai stasiun. Tak ada seorang pun yang mengusik, karena Gunarsa disangka seorang tentara. Keduanya lantas tertidur dengan lelap hingga menjelang dini hari.
    
"Ketika tidur, berkali-kali saya mendengar pedagang menawarkan gorengan tahu, kacang dan nasi bungkus. Tapi tidak ada yang berani membangunkan karena saya disangka seorang tentara. Saya dan Nur Ali baru terbangun ketika mendengar peluit panjang tanda kereta api telah tiba ke Stasiun Gubeng," ujarnya.
    
Gunarsa dan Nur Ali bergegas bangun. Keduanya naik kereta. Sepeda motor juga ikut dinaikkan. Hari masih terang ketika mereka kemudian tiba di Banyuwangi. Debur ombak terdengar di kejauhan, ketika Gunarsa kembali memacu sepeda motor dan bersiap menyeberang menuju Tanah Dewata.

Menyeberang menggunakan kapal kecil, dengan angin laut yang keras menerpa menimbulkan gelegak kerinduan pada Bali menyentak di dada. Gunarsa rindu bangunan pura, atraksi kesenian tradisional, rangkaian penjor di hari raya, dan senandung tembang wargasari. Kerinduan itu meletup di dadanya.
    
Kerinduan itu meluruh ketika Gunarsa sampai Gilimanuk. Aroma tanah Pulau Dewata, serasa mengusap seluruh kerinduan itu. Perjalanan menjadi lapang hingga sampai di Kota Denpasar dan langsung menuju di Jalan Banteng, di markas Marhaen.
    
Hari-hari berikutnya, Gunarsa dan Nur Ali langsung disibukkan dengan persiapan untuk membuat poster. Keduanya berkeliling kota dan mencari penjual bambu untuk membuat kerangka poster. Setiba di tukang penjual bambu, Gunarsa pun memesan bambu serta batang kelapa.
    
"Harga bambu Rp5 per batang, tapi saya beli Rp7,5 sehingga penjualnya terbengong-bengong  melihat saya. Ekspresinya seperti tidak percaya. Sampai sesaat tidak bisa bicara. Ketika saya bilang agar nanti bambu dipotong-potong sesuai ukuran yang saya berikan dan supaya diantarkan ke Jalan Banteng, maka tukang penjual bambu itu cepat-cepat mengangguk. Begitu juga pesanan batang kelapa, agar dipotong sesuai ukuran poster 6x6 meter. Tukang penjual bambu itu sekali lagi mengangguk seperti tidak bisa bicara," katanya.
    
Ketika pesanan bambu dan batang kelapa sudah diantarkan di Jalan Banteng, Gunarsa kemudian bersiap menyambut teman-temannya sesama pelukis yang akan datang dari Yogyakarta. Mereka beramai-ramai mau datang untuk bergabung dalam proyek pembuatan poster.
    
Gunarsa menjemput di Bandar Udara Ngurah Rai dan membawa rekan-rekannya ke Jalan Banteng. Suasana di markas Marhaen menjadi riuh. Ada gelak tawa, canda dan nuansa keakraban yang kental.
    
"Kami saling membentangkan kanvas dan saling bekerja sesuai gaya masing-masing pelukis. Kami bekerja dalam suasana yang rileks dan santai, sampai akhirnya poster berjumlah 24 itu selesai dibikin. Kegembiraan kami meledak melihat proyek itu berjalan lancar dan hasilnya menjadi poster yang sesuai harapan," ujar Gunarsa.
    
Untuk melepaskan ketegangan usai menyelesaikan poster, maka Gunarsa dan teman-temannya menyelenggarakan pesta dengan memesan babi guling berjumlah 24 ekor dan mengupah Joged Bumbung agar tampil menghibur.
    
Pesta ala seniman dengan melibatkan masyarakat pun berlangsung meriah. Bersama-sama masyarakat, mereka menikmati babi guling dengan kegembiraan yang kental. Keikutsertaan masyarakat membuat suasana bertambah ramai. Kehadiran Joged Bumbung, membuat suasana malam kian bertambah meriah.
    
Joged Bumbung merupakan kesenian yang berasal dari Desa Kalopaksa, Seririt, Buleleng. Berawal dari hiburan rakyat yang menjalankan profesi sebagai petani, dan tatkala melepas usai bekerja di sawah, maka menggelar hiburan dengan iringan musik bambu. Seiring zaman, hiburan ini berkembang dan akhirnya sekarang sangat populer menjadi hiburan untuk menyemarakkan pesta atau kegiatan untuk mendatangkan massa.
    
"Ketika babi guling ludes dan Joged Bumbung selesai pentas, maka acara hiburan pun selesai. Tapi uang juga makin menipis, karena dipergunakan untuk biaya hidup setiap hari dan berkeliling ke berbagai toko kerajinan," ujarnya.
    
Gunarsa mengakui, dirinya memang penggemar barang antik sehingga kala waktu senggang, selalu dipergunakan untuk mencarinya di toko antik atau pasar seni. Barang-barang antik itu kemudian dijadikan koleksi, yang di belakang hari menjadi pengisi museumnya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Tri Vivi Suryani

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016