Jakarta (Antara Bali) - Sosiolog dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan pemerintah pusat dan daerah harus secara tegas dan kompak memilih aturan untuk melegalkan prostitusi atau tidak.

"Bila memilih tidak dilegalkan harus disiapkan seperangkat infrastruktur kebijakan makro dan mikro yang tepat," kata Devie saat dihubungi di Jakarta, Minggu.

Menurut dia pada level makro pemerintah harus memastikan ketersediaan lapangan kerja atau jaminan sosial yang mampu memenuhi kebutuhan standar dasar hidup seperti sandang, pangan, papan dan pendidikan khususnya di kawasan kantong-kantong kemiskinan.

"Hal itu untuk mencegah masyarakat tidak mampu melakukan 'migrasi sosial' ke profesi prostitusi," ujarnya.

Secara mikro, Devie mengatakan diperlukan pendataan yang komprehensif kemudian dibuat profil, baru intervensi hingga pembuatan identitas baru agar para pelaku prostitusi bisa terbebas dari stigma dan label negatif serta dapat menata ulang kehidupannya.

Menurut Devie, pendatang di kota perlu dikembalikan kepada pemerintah daerah asal yang memang seharusnya membina mereka. Bila semua diserahkan kepada pemerintah perkotaan yang menjadi daerah tujuan, tentu akan memberatkan.

"Jakarta akan 'kehabisan oksigen' bila harus melayani seluruh permintaan negeri untuk mencicipi kue ekonomi," tuturnya.

Devie mengatakan 196 negara di dunia terbelah terkait penanganan prostitusi. Sebanyak 77 negara memilih melegalkan sedangkan sisanya memberlakukan sistem yang sangat ketat terhadap praktik lokalisasi.

Indonesia, bersama Thailand, termasuk yang tidak melegalkan secara hukum. Namun, pada tataran praktik kemasyarakatan, bisnis prostitusi tersedia untuk melayani publik. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Dewanto Samodro

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016