"Lulur yang merupakan salah satu tradisi masyarakat Bali, sengaja diangkat menjadi produk spa yang berstandar tinggi. Sungguh tak terduga, dari produk tradisional lulur ini, justru bisa mengantarkan saya ke berbagai negara untuk berpameran," kata Wayan Sukhana, pelaku usaha produk spa ternama di Denpasar, Bali.
    
Namun, proses memulai usaha lulur, bukan waktu yang sebentar bagi Sukhana. Ada perjalanan panjang, sebelum jejak langkah lelaki asal Jembrana ini terhenti pada usaha pembuatan lulur tradisional dengan bahan organik yang dikemas dan berstandar internasional.

Perjalanan panjang itu bermula, ketika Sukhana yang baru tamat kuliah di Fakultas Ekonomi - Universitas Udayana, menapaki pekerjaan sebagai staf di kantor pemborong. Sesekali dia berupaya melamar kerja di tempat lain yang lebih sesuai dengan bidang yang dipelajarinya selama kuliah.
    
"Setelah bekerja di pemborong, saya kemudian mengembangkan karir di Sanur Beach sejak tahun 1974- 1984 sebagai 'accounting' sampai jenuh di sini. Saya menjajal tantangan baru sebagai medical representative di perusahaan farmasi Kresna Karya," ujar suami dari Made Yuliani ini.
    
Bermula dari Medical Representative, karir Sukhana kemudian meningkat menjadi supervisor, asisten product manager hingga menduduki jabatan sebagai direktur di wilayah Lombok sampai tahun 1996.
    
Kresna Karya kemudian diakuisisi dan menjadi Parta Karya. Sukhana pun ditarik ke Jakarta dan menjabat sebagai asisten sales manager sampai tahun 1998. Saat itu, perusahaan tidak bisa bertahan ketika terjadi krisis moneter melanda Indonesia.
    
Dalam keadaan gamang, Sukhana pulang bersama istri dan ketiga anaknya ke Denpasar, dengan beban ketiadaan pekerjaan untuk menjamin kehidupan keluarganya. Lelaki ini sempat dihinggapi stres, karena tidak tahu harus berbuat apa untuk menghidupi keluarga.
    
"Saya tidak bisa melamar pekerjaan lagi karena usia sudah 53 tahun. Saya kemudian bilang sama istri, sudah saatnya berdikari karena selama ini terus menjadi buruh," ujarnya.
    
Bersama istri, Sukhana kemudian merancang berbagai aksesoris mutiara dipadu emas, yang ditawarkan ke berbagai mall di Denpasar. Usaha ini berjalan dengan serangkaian kendala, antara lain pembayaran sering macet karena diberlakukan sistem konsinyasi dan pebisnis di bidang aksesoris makin bertambah banyak.

Wangi, Sejuk dan Hangat

"Istri kemudian membuat berbagai kerajinan dari bahan sampah. Seperti buah mahoni, cemara, pelepah pisang, dan lainnya untuk dibikin garland. Istri dulu perawat di RS Panti Rapih di Yogyakarta dan sering membantu suster-suster untuk membuat rangkaian bunga untuk Natal. Pengalaman ini membuat istri terampil membuat kerajinan rangkaian bunga," kata dia.
    
Bahan baku rangkaian bunga, menggunakan berbagai limbah. Kebetulan salah seorang teman Sukhana menekuni usaha kerajinan bunga kering. Limbah usaha kerajinan ini diminta Sukhana untuk membuat kreasi rangkaian aksesoris bunga dari bahan alam.
    
Kiat lainnya adalah bahan baku dicari di daerah seputaran Bedugul. Sukhana dan keluarga sengaja mencarinya ketika hari Minggu dan ketiga anaknya libur sekolah. Bersama-sama mereka berlima sengaja berburu bahan untuk membuat kerajinan, agar tidak mengeluarkan uang untuk membelinya.
    
Hasil dari perburuan di Bedugul, kemudian dibuat berbagai macam kerajinan dari bahan baku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sampah, dengan kisaran harga Rp5 ribu sampai Rp300 ribu. Sukhana lantas membuka toko kecil di kawasan Jalan Nusa Kambangan untuk memajang karyanya.
    
Ternyata produk dari sampah ini, kemudian dilirik pengusaha yang memiliki beberapa stand di 'airport' dan mengajak Sukhana bekerja sama sebagai pemasok. Usaha pun mulai melaju.
    
"Di tengah usaha kerajinan usaha aksesoris yang sudah mulai melaju, tiba-tiba saya bertemu salah seorang pemilik spa yang menanyakan apa saya sanggup membikin lulur. Selama ini, orang itu memakai lulur Jawa, tapi kurang sreg karena bahannya kunyit sehingga warna kuningnya menempel lama di kulit dan baju," ucap ayah tiga putra ini.
    
Pertanyaan pemilik spa, seketika membuat Sukhana melihatnya sebagai tantangan untuk mengembangkan usaha. Sukhana menyanggupi dan teringat pada tradisi masyarakat Bali yang sudah sering menggunakan boreh dalam keseharian.
    
Sukhana meminta waktu seminggu dan langsung bereksperimen membuat boreh dengan bahan-bahan alami menggunakan bahan dasar beras merah, beras putih dan kacang hijau. Kalau ingin beraroma wangi, maka diberi campuran bunga-bunga semacam kamboja, melati, mawar dan lainnya.
    
"Boreh atau lulur yang hangat diramu dengan cengkeh atau jahe. Kalau boreh sejuk dicampur bahan stroberi, alpukat atau bengkuang. Tapi variasi lulur ini dibikin, setelah tercapai 'deal' kerja sama dengan pemilik spa untuk memasok boreh khas Bali dan mengusung nama Bali Tangi," ucap lelaki kelahiran 22 April 1948.
    
Bali Tangi artinya Bali yang mengalami kebangkitan. Spirit inilah yang dibawakan Sukhana dalam membangun bisnisnya dan kemudian mengembangkan menjadi beberapa produk seperti massage oil, masker, sabun, body milk dan lainnya.
   
"Melalui pameran demi pameran baik di dalam maupun luar negeri, produk Bali Tangi mulai dikenal publik. Kami punya distributor di kota-kota besar di Indonesia dan Singapura. Kalau konsumen, 90 persen masih masyarakat dalam negeri," kata dia.
    
Meski demikian, respon masyarakat luar negeri pun belakangan mulai mengeliat. Tak kurang ada negara Australia, Jepang, Amerika Serikat, Uzbekistan dan sejumlah negara lain, yang berulang kali memesan produk Bali Tangi untuk dipasarkan ke negara masing-masing.
    
Jauh-jauh hari, Sukhana sudah mempersiapkan agar produk Bali Tangi mencapai standar nasional yang mengacu cara produksi kosmetik yang baik (CPKB) dan  International Organization for Standardization (ISO). Berbekal standar yang telah dimiliki, maka Sukhana tidak gentar ketika era MEA dimulai.
    
"Banyak sekali persyaratan yang dilalui untuk mencapai standar itu. Tapi paling tidak, kami jadi siap bersaing di era MEA. Sementara, terkait banyaknya pemain produk spa di Bali, sebagian besar masih belum mengantongi standar itu, sehingga bermain-main di pasar dalam negeri saja," katanya.
    
Memiliki produk yang sudah dikenal di dalam dan luar negeri, Sukhana mensyukuri. Padahal, berulang kali dia menyatakan, apa yang direngkuhnya sekarang berawal dari kondisi terpaksa, dipaksa dan memaksakan diri.
    
Berawal dari keterpaksaan ini, malah mengantar Bali Tangi berkali-kali meraih penghargaan. Dan penghargaan terbaru, didapatkan pada November 2015. Penghargaan Paramakarya diterima Bali Tangi dan diberikan langsung Presiden Joko Widodo, untuk kategori perusahaan kelas menengah yang menerapkan konsep kualitas dan produktivitas yang baik. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Tri Vivi Suryani

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016