Mangupura (Antara Bali) - Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Bali, melarang semua desa adat di daerah itu membuat ogoh-ogoh (boneka raksasa) mengandung unsur SARA, pornografi dan politis, menjelang Hari Raya Nyepi.
"Imbauan ini sudah kami susun dalam bentuk surat edaran yang akan disebarkan ke 122 desa adat pada awal Februari 2016 agar tidak terjadi gesekan saat parade ogoh-ogoh nanti," kata Kepala Disbud Kabupaten Badung, IB Anom Bhasma, di Mangupura, Kamis.
Ia mengatakan, surat edaran itu dibuat lebih awal agar sejak dini muda-mudi yang ada di setiap desa adat di daerah itu tidak membuat ogoh-ogoh seperti itu sebelum diarak saat malam "pangerupukan" pada 8 Maret 2016.
Anom Bhasma mengimbau muda-mudi di daerah itu untuk membuat ogoh-ogoh sesuai tema dan sastra dalam ajaran Hindu, yakni melambangkan bhutakala.
"Apabila ogoh-ogoh berbau politis atau mengandung SARA, akan memicu konflik baru di tengah masyarakat," ujarnya.
Selain itu, dalam pembuatan ogoh-ogoh, ia meminta untuk bahan dasar pembuatan ogoh-ogoh itu tidak menggunakan "styrofoam". Namun disarankan menggunakan bahan dasar organik seperti bambu dan kertas.
"Berdasarkan penelitian, bahwa styrofoam sangat berbahaya bagi lingkungan apabila dibakar," ujarnya.
Ia juga mengharapkan, saat malam perayaan pengerupukan nanti, masyarakat tidak menyalakan kembang api dan petasan untuk menjaga keamanan bersama saat pelaksanaan parade ogoh-ogoh tersebut.
"Imbauan lain adalah pengarakan ogoh-ogoh tidak boleh keluar dari batas desa, karena dikhawatirkan menimbulkan gesekan antar muda-mudi sehingga desa adat wajib mengawasi parade tersebut," ujarnya.
Ia menegaskan, keluarnya surat edaran nanti atas keputusan bersama dan tidak ada maksud membatasi ruang gerak kreativitas anak muda di daerah itu.
"Pemerintah sangat mendukung pengembangan kreativitas anak muda, namun kreativitas tersebut tidak menyinggung orang atau pihak tertentu. Apalagi ada unsur kesengajaan," ujarnya.
Ia menjelaskan, parade ogoh-ogoh bukan termasuk ritual malam pengerupukan. Namun, ogoh-ogoh menjadi tradisi umat Hindu di Bali menjelang Hari Raya Nyepi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Imbauan ini sudah kami susun dalam bentuk surat edaran yang akan disebarkan ke 122 desa adat pada awal Februari 2016 agar tidak terjadi gesekan saat parade ogoh-ogoh nanti," kata Kepala Disbud Kabupaten Badung, IB Anom Bhasma, di Mangupura, Kamis.
Ia mengatakan, surat edaran itu dibuat lebih awal agar sejak dini muda-mudi yang ada di setiap desa adat di daerah itu tidak membuat ogoh-ogoh seperti itu sebelum diarak saat malam "pangerupukan" pada 8 Maret 2016.
Anom Bhasma mengimbau muda-mudi di daerah itu untuk membuat ogoh-ogoh sesuai tema dan sastra dalam ajaran Hindu, yakni melambangkan bhutakala.
"Apabila ogoh-ogoh berbau politis atau mengandung SARA, akan memicu konflik baru di tengah masyarakat," ujarnya.
Selain itu, dalam pembuatan ogoh-ogoh, ia meminta untuk bahan dasar pembuatan ogoh-ogoh itu tidak menggunakan "styrofoam". Namun disarankan menggunakan bahan dasar organik seperti bambu dan kertas.
"Berdasarkan penelitian, bahwa styrofoam sangat berbahaya bagi lingkungan apabila dibakar," ujarnya.
Ia juga mengharapkan, saat malam perayaan pengerupukan nanti, masyarakat tidak menyalakan kembang api dan petasan untuk menjaga keamanan bersama saat pelaksanaan parade ogoh-ogoh tersebut.
"Imbauan lain adalah pengarakan ogoh-ogoh tidak boleh keluar dari batas desa, karena dikhawatirkan menimbulkan gesekan antar muda-mudi sehingga desa adat wajib mengawasi parade tersebut," ujarnya.
Ia menegaskan, keluarnya surat edaran nanti atas keputusan bersama dan tidak ada maksud membatasi ruang gerak kreativitas anak muda di daerah itu.
"Pemerintah sangat mendukung pengembangan kreativitas anak muda, namun kreativitas tersebut tidak menyinggung orang atau pihak tertentu. Apalagi ada unsur kesengajaan," ujarnya.
Ia menjelaskan, parade ogoh-ogoh bukan termasuk ritual malam pengerupukan. Namun, ogoh-ogoh menjadi tradisi umat Hindu di Bali menjelang Hari Raya Nyepi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016