Gianyar (Antara Bali) - Kerajinan batu di kawasan Singapadu, Gianyar, Bali, belakangan ini mengalami kendala bahan baku dikarenakan semakin sulit didapatkan dalam jumlah banyak dari berbagai daerah di Nusantara.

"Ketika baru berkecimpung di bidang batu tahun 2000-an, bahan baku masih berlimpah dan kualitasnya amat bagus. Akhir-akhir ini sulit memesan bahan baku batu karena jumlahnya makin terbatas," kata I Nyoman Mangku Surya Sanjaya, salah seorang pebisnis batu di Dusun Singapadu Kaler, Banjar Silakarang, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Rabu.

Menurut dia, bahan baku batu itu didapatkan dari Jogjakarta, Kalimantan, Kupang, Tulungagung dan Sukabumi-Jawa Barat. Khusus untuk Jogjakarta, Nyoman Mangku memesan batu paras untuk bahan membuat `wall relief`.

"Batu paras itu gampang diukir karena empuk dan warnanya putih jadi terlihat menarik hasil reliefnya," kata dia.

Wall relief dibuat perajin setempat dengan mengukir desain pewayangan, satwa atau flora, menggunakan pakem-pakem tradisional dipadu `style` Eropa modern yang minimalis.

Dia melanjutkan, untuk daerah Tulungagung sebagai daerah penghasil marmer yang berkualitas, amat sesuai untuk bahan membuat westafel. Di daerah ini, didirikan `workshop` untuk mempermudah pembuatan westafel berbentuk klasik, yang diminati konsumen dari India.

Dalam sebulan, selalu ada pengiriman satu kontainer westafel ke India sebanyak 300 pieces, dengan nilai transaksi berkisar US$ 20.000 - US$ 25.000.

"Kalau dari Kalimantan dan Kupang, saya biasa memesan batu berukuran kecil untuk ditaburkan di taman-taman. Batu dengan aneka warna itu terlihat menarik sebagai taburan. Batu tabur ini banyak dipesan konsumen Thailand, Australia, Maldives dan Malaysia," ujarnya.

Belakangan ini, ekspor batu tabur mulai mengalami kendala. Hal ini dikarenakan produk itu dikategorikan sebagai bahan baku, sehingga harus ada proses pengolahan agar tidak diekspor dalam keadaan masih mentah. Jalan lain jika masih ingin tetap mengekspor batu tabur, harus memiliki izin galian C.

"Kami ini perajin batu, bagaimana bisa memiliki izin galian C. Ini makanya ekspor batu tabur sudah sulit dilakukan," kata Nyoman Mangku.

Demi kelangsungan usaha, maka Nyoman Mangku kini lebih memaksimalkan produksi wall relief, patung dan westafel. Harga wall relief disesuaikan motif yang dipilih konsumen. Kalau motif pewayangan, harga wall relief mencapai Rp2,5 juta - Rp3 juta/m2, mengingat pembuatan cukup sulit terkait anatomi.

Harga patung cukup variatif, mulai dari Rp2,5 juta sampai Rp20 juta. Tergantung tingkat kesulitan pembuatan, bahan baku dan ukuran patung itu.

"Kalau westafel harga antara Rp500 ribu - Rp2,5 juta per pieces. Bentuk westafel ini macam-macam dan memang pembeli utama dari India. Kalau di kalangan lokal, malah tidak diminati," ujarnya.

Kalau masyarakat lokal, lanjut dia, justru konsumen dari kalangan perhotelan atau rumah the `high class` di Jakarta yang ingin memesan wall relief. Hotel-hotel yang pernah memesan kerajinan batu dari Nyoman Mangku, antara lain, The Ritz-Carlton (Ubud), Conrad (Nusa Dua), Trans Hotel (Kuta) dan lainnya.

"Kalau pemesanan kerajinan batu dari kalangan pengusaha atau menteri, sudah tak terhitung lagi. Dan dikarenakan persaingan selalu ada, kami selalu emaksimalkan kualitas desain. Mengenai terbatasnya bahan baku, tentu tidak isa apa-apa lagi karena faktor alam. Mungkin nanti melihat peluang lainnya," ucap dia. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Tri Vivi Suryani

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016