Singaraja (Antara Bali) - Akademisi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Bali, Drs Made Pageh, MHum mengharapkan pembangunan monumen perjuangan "puputan" di Desa Jagaraga memprioritaskan dua tokoh besar Bali bagian utara yakni I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring.
"Dua tokoh tersebut merupakan tokoh yang sangat berperan dalam perjuangan melawan penjajah Belanda melalui konsep perang `puputan` atau berperang sampai mati pada 1848 dan 1849 silam," kata Made Pageh Mhum di Singaraja, Sabtu.
Menurut dia, simbol monumen yang dirancang pemerintah harus menyiratkan perjuangan dan runtunan cerita sejarah sebenarnya ketika kejadian itu berlangsung pada masa silam.
Ia menjelaskan, pembangunan monumen juga hendaknya memiliki karakteristik berbeda dengan apa yang dibangun Belanda di Surabaya terkait kemenangan melawan rakyat Bali di Jagaraga.
"Belanda sudah pernah membuat monumen puputan perang Jagaraga. Pembangunannya di Surabaya, untuk melegitimasi atau mengklaim kekuatan Belanda di Buleleng dimana ketika itu kolonial Belanda membangun patung kemenangannya itu atas perang puputan," ujar Pageh.
Dikatakan, sebelumnya pihaknya telah melakukan penelitian lapangan mengenai konsep pembangunan patung di monumen Jagaraga, dimana harus tetap mengikuti sejarah perang Jagaraga.
Selain itu, pembangunan monumen "puputan" Jagaraga, harus menonjolkan Patih Jelantik dan Jero Jempiring dimana keberadaan sosok Jero Jempiring menjadi wanita Bali pertama dan berperan penting membangkitkan semangat juang melawan Belanda pada 1849 silam.
"Diwaktu perang pertama, Patih Jelantik menang melawan kolonial Belanda di Tahun 1848. Kemudian di tahun 1849 Belanda justru berhasil memenangkan perang, ketika itulah terjadi perang puputan Jagaraga besar-besaran, sehingga menelan banyak korban jiwa termasuk Jero Jempiring," ucapnya.
Bukan hanya itu saja, Pageh berharap, dibangunannya monumen puputan Jagaraga mampu menginterpretasikan kembali peristiwa sejarah dalam upaya membangun karakter bangsa.
Keberadaan monumen, jika dibangun dengan dua tokoh pahlawan, baik Patih Jelantik dan Jero Jempiring, mampu memunculkan karakter tokoh pahlawan perempuan.
Selama melawan Belanda, kata dia, teknik perang memakai "supit urang" dinilai sudah tergolong modern, kedepannya mampu menjadi edukasi pembelajaran terhadap generasi penerus.
"Monumen dibangun harus memiliki perspektif pendidikan dan persamaan gender dan disana ada pahlawan perempuan yang selama ini sulit ditemukan. Sosok perempuan Jero Jempiring wajib dimunculkan monumennya meskipun Beliau belum diakui sebagai pahlawan nasional," demikian Pageh. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Dua tokoh tersebut merupakan tokoh yang sangat berperan dalam perjuangan melawan penjajah Belanda melalui konsep perang `puputan` atau berperang sampai mati pada 1848 dan 1849 silam," kata Made Pageh Mhum di Singaraja, Sabtu.
Menurut dia, simbol monumen yang dirancang pemerintah harus menyiratkan perjuangan dan runtunan cerita sejarah sebenarnya ketika kejadian itu berlangsung pada masa silam.
Ia menjelaskan, pembangunan monumen juga hendaknya memiliki karakteristik berbeda dengan apa yang dibangun Belanda di Surabaya terkait kemenangan melawan rakyat Bali di Jagaraga.
"Belanda sudah pernah membuat monumen puputan perang Jagaraga. Pembangunannya di Surabaya, untuk melegitimasi atau mengklaim kekuatan Belanda di Buleleng dimana ketika itu kolonial Belanda membangun patung kemenangannya itu atas perang puputan," ujar Pageh.
Dikatakan, sebelumnya pihaknya telah melakukan penelitian lapangan mengenai konsep pembangunan patung di monumen Jagaraga, dimana harus tetap mengikuti sejarah perang Jagaraga.
Selain itu, pembangunan monumen "puputan" Jagaraga, harus menonjolkan Patih Jelantik dan Jero Jempiring dimana keberadaan sosok Jero Jempiring menjadi wanita Bali pertama dan berperan penting membangkitkan semangat juang melawan Belanda pada 1849 silam.
"Diwaktu perang pertama, Patih Jelantik menang melawan kolonial Belanda di Tahun 1848. Kemudian di tahun 1849 Belanda justru berhasil memenangkan perang, ketika itulah terjadi perang puputan Jagaraga besar-besaran, sehingga menelan banyak korban jiwa termasuk Jero Jempiring," ucapnya.
Bukan hanya itu saja, Pageh berharap, dibangunannya monumen puputan Jagaraga mampu menginterpretasikan kembali peristiwa sejarah dalam upaya membangun karakter bangsa.
Keberadaan monumen, jika dibangun dengan dua tokoh pahlawan, baik Patih Jelantik dan Jero Jempiring, mampu memunculkan karakter tokoh pahlawan perempuan.
Selama melawan Belanda, kata dia, teknik perang memakai "supit urang" dinilai sudah tergolong modern, kedepannya mampu menjadi edukasi pembelajaran terhadap generasi penerus.
"Monumen dibangun harus memiliki perspektif pendidikan dan persamaan gender dan disana ada pahlawan perempuan yang selama ini sulit ditemukan. Sosok perempuan Jero Jempiring wajib dimunculkan monumennya meskipun Beliau belum diakui sebagai pahlawan nasional," demikian Pageh. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015