Denpasar (Antara Bali) - Pemerintah Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung, mengadakan kunjungan kerja ke sentra produksi tenun ikat di Kabupaten Gianyar, Bali, sebagai langkah studi banding pengembangan kain tradisional di daerah asal mereka.

"Saya sangat mengapresiasi kain tenun ikat di Gianyar ini, karena motif dan desainnya sangat inovatif. Benar-benar karya yang bernilai seni. Tidak heran produk kain tenun di Gianyar tidak hanya digemari masyarakat lokal," kata Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Pangkalpinang Dessy Ayu Trisna, di tengah kunjungan kerja ke sentra tenun ikat Putri Ayu di Blahbatuh, Gianyar, Jumat.

Kunjungan kerja Pemerintah Kota (Pemkot) Pangkalpinang ke sentra tenun ikat di Gianyar ini merupakan sarana pembelajaran demi memajukan dan mengembangkan kain tradisional di Pangkalpinang. Selama ini, Pangkalpinang memiliki kain tenun cual yang sudah terkenal sejak dahulu kala. Sayangnya, akhir-akhir ini pamor Tenun cual ini meredup dan makin lama seolah kian terpinggirkan.

Bahkan, ujar Dessy, tidak hanya tenun ikat yang menjadi objek studi banding Pemkot Pangkalpinang kali ini, melainkan juga kerajinan perak di Celuk. Melambungnya nama perak 'made in' Bali di dunia internasional, menginspirasi untuk mengembangkan kerajinan timah di Pangkalpinang.

"Bahan baku timah itu bisa diolah menjadi berbagai macam kerajinan seperti cincin, kalung, gelang, bros atau aneka perhiasan lain. Nyaris tidak berbeda dengan perak. Jadi melihat begitu kreatifnya masyarakat Celuk mengolah perak menjadi perhiasan, mengilhami kami untuk membuat berbagai bentuk aksesoris yang menggunakan bahan baku timah. Kami tinggal meningkatkan kualitas produk dan
pemasaran. Dan peningkatan kualitas ini tidak hanya berlaku untuk kerajinan timah, melainkan juga 'handicraft' lain termasuk produk tenun ikat cual," ujar dia.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang Akhmad Elvian menambahkan, sebenarnya kain tenun cual Pangkalpinang sudah tersohor sejak tahun 1700-an. Pada masa itu, kain tradisional itu lazim digunakan keluarga bangsawan dan dipandang sebagai kebutuhan primer. Biasanya kain tenun cual dipakai saat ada perhelatan upacara keagamaan.

Belakangan, kain cual ini sudah mulai digunakan masyarakat secara umum dan sering diproduksi sebagai salah satu cendera mata khas Pangkalpinang. Proses produksi selembar kain tenun cual bisa menghabiskan waktu sampai satu bulan.

"Bahan baku kain tenun cual adalah benang emas, sehingga harganya bisa mencapai Rp30 juta per lembarnya. Dulu masyarakat biasa menggunakan pewarna alam dengan bahan kulit manggis atau kunyit, tapi belakangan lebih disukai pewarna sintetis
karena lebih praktis," ujar Akhmad.

Sementara itu, Ida Bagus Adnyana, pelaku usaha tenun ikat di Gianyar, mengatakan, dirinya sudah menerjuni bisnis kain tradisional sejak tahun 1991 dengan bermodalkan dua alat tenun bukan mesin (ATBM). Sekarang alat tenun yang dimiliki Adnyana telah mencapai 60 buah, yang dioperasikan lebih dari 50 karyawan setiap hari.

"Motif-motif kain tenun ikat yang kami kembangkan sudah mencapai ratusan, seperti motif flora dan fauna. Untuk pewarnaan, kami menggunakan pewarna sintesis dan memakai teknik 'air brush' untuk mempercantik motif. Harga kain tenun ini untuk jenis katun adalah Rp100 ribu per meter, kalau bahan sutra bisa mencapai Rp2,5 juta setiap lembarnya," ucap Adnyana.

Meski sempat mengalami masa kejayaan dengan banyaknya pesanan dari konsumen Jepang, Australia dan Amerika Serikat, namun sayangnya belakangan usaha ini mulai agak meredup, terkait dengan kasus meledaknya bom di Bali beberapa waktu lalu.

"Akan tetapi bagaimanapun kondisinya, saya tetap jalankan usaha ini, sebagai langkah menjaga warisan nenek moyang yang diguratkan pada motif-motif kain tenun ikat ini," kata Adnyana.

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015