Singaraja (Antara Bali) - Wakil Bupati Buleleng, Bali, I Nyoman Sutjidra mengatakan eks Pelabuhan Buleleng berlokasi di pesisir Kota Singaraja tidak mungkin difungsikan kembali karena telah dikonsep menjadi salah satu objek wisata unggulan di wilayah itu.
"Objek wisata eks Pelabuhan Buleleng yang diresmikan sejak 2006 lalu sudah mulai berkembang dan sulit rasanya dikembalikan lagi menjadi pelabuhan," kata Wabud I Nyoman Sutjidra di Singaraja, Sabtu.
Ia menjelaskan, perlu kajian mendalam dan jangka waktu lama jika ingin Pelabuhan Buleleng kembali diaktifkan. "Sementara untuk sarana transportasi perairan, Buleleng telah memiliki Pelabuhan Celukan Bawang yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III," kata dia.
Selain itu, kata dia, kini tempat rekreasi eks Pelabuhan Buleleng sudah kami tata sedemikian rupa melalui Disbudpar, "Memang akan ditata lagi, agar lebih menarik," ujarnya.
Bukan hanya itu saja, ia menambahkan, konsep RTRW Buleleng sudah ditetapkan dan rencana pelabuhan diarahkan di bagian Barat yakni di wilayah Celukan Bawang.
Lebih lanjut, ia menegaskan, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) yang memiliki otoritas di wilayah pelabuhan bersama PT Pelindo III sebagai pengelola Pelabuhan Celukan Bawang agar dapat bersinergi dengan Pemkab Buleleng.
"Terlebih ketika akan mengembangkan kawasan pelabuhan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Provinsi Bali maupun Kabupaten Buleleng," kata dia.
Akademisi dan sejarawan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), I Made Pageh M.Hum meminta tiga pelabuhan yang dulu menjadi akses perdagangan di Pulau Dewata dan Nusa Tenggara kembali diaktifkan sehingga dapat memacu perekonomian masyarakat di daerah itu.
"Ketiga pelabuhan itu di antaranya, Pelabuhan Sangsit, Pelabuhan Buleleng dan Pelabuhan Temukus," kata I Made Pageh M.Hum.
Ia menjelaskan, dulu pada 1945-1950 tiga pelabuhan itu dikenal sebagai `triangle spot` saat Belanda secara politik masih berusaha menguasai Bali, khususnya Buleleng meski Soekarno-Hatta di Jakarta telah mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Belanda ketika itu menjadikan Buleleng sebagai Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) atau pusat pemerintahan sipil Belanda, sehingga Belanda banyak mendirikan perkantoran di jantung Kota Singaraja," katanya.
Pada saat bersamaan, kata dia, ketika masa pemerintahan Gubernur I Gusti Ketut Puja, Bali Utara (Buleleng) ditetapkan sebagai ibukota Sunda Kecil yang melingkupi wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Satu alasan Bali Utara ditetapkan sebagai ibukota karena memiliki Pelabuhan Buleleng yang menjadi pelabuhan terbesar kala itu, dan menjadi pusat perdagangan.
"Tiga pelabuhan ini sebagai pelabuhan ekspor rempah-rempah seperti kopi, kacang beserta barang-barang tradisional, jagung, gula aren, cengkeh. Sekarang sebenarnya masih bisa dibuat berlabuh kapal, hanya saja ditinggalkan. Padahal itu harusnya dipelihara dengan baik, apalagi itu pelabuhan alam," ujar dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Objek wisata eks Pelabuhan Buleleng yang diresmikan sejak 2006 lalu sudah mulai berkembang dan sulit rasanya dikembalikan lagi menjadi pelabuhan," kata Wabud I Nyoman Sutjidra di Singaraja, Sabtu.
Ia menjelaskan, perlu kajian mendalam dan jangka waktu lama jika ingin Pelabuhan Buleleng kembali diaktifkan. "Sementara untuk sarana transportasi perairan, Buleleng telah memiliki Pelabuhan Celukan Bawang yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III," kata dia.
Selain itu, kata dia, kini tempat rekreasi eks Pelabuhan Buleleng sudah kami tata sedemikian rupa melalui Disbudpar, "Memang akan ditata lagi, agar lebih menarik," ujarnya.
Bukan hanya itu saja, ia menambahkan, konsep RTRW Buleleng sudah ditetapkan dan rencana pelabuhan diarahkan di bagian Barat yakni di wilayah Celukan Bawang.
Lebih lanjut, ia menegaskan, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) yang memiliki otoritas di wilayah pelabuhan bersama PT Pelindo III sebagai pengelola Pelabuhan Celukan Bawang agar dapat bersinergi dengan Pemkab Buleleng.
"Terlebih ketika akan mengembangkan kawasan pelabuhan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Provinsi Bali maupun Kabupaten Buleleng," kata dia.
Akademisi dan sejarawan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), I Made Pageh M.Hum meminta tiga pelabuhan yang dulu menjadi akses perdagangan di Pulau Dewata dan Nusa Tenggara kembali diaktifkan sehingga dapat memacu perekonomian masyarakat di daerah itu.
"Ketiga pelabuhan itu di antaranya, Pelabuhan Sangsit, Pelabuhan Buleleng dan Pelabuhan Temukus," kata I Made Pageh M.Hum.
Ia menjelaskan, dulu pada 1945-1950 tiga pelabuhan itu dikenal sebagai `triangle spot` saat Belanda secara politik masih berusaha menguasai Bali, khususnya Buleleng meski Soekarno-Hatta di Jakarta telah mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Belanda ketika itu menjadikan Buleleng sebagai Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) atau pusat pemerintahan sipil Belanda, sehingga Belanda banyak mendirikan perkantoran di jantung Kota Singaraja," katanya.
Pada saat bersamaan, kata dia, ketika masa pemerintahan Gubernur I Gusti Ketut Puja, Bali Utara (Buleleng) ditetapkan sebagai ibukota Sunda Kecil yang melingkupi wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Satu alasan Bali Utara ditetapkan sebagai ibukota karena memiliki Pelabuhan Buleleng yang menjadi pelabuhan terbesar kala itu, dan menjadi pusat perdagangan.
"Tiga pelabuhan ini sebagai pelabuhan ekspor rempah-rempah seperti kopi, kacang beserta barang-barang tradisional, jagung, gula aren, cengkeh. Sekarang sebenarnya masih bisa dibuat berlabuh kapal, hanya saja ditinggalkan. Padahal itu harusnya dipelihara dengan baik, apalagi itu pelabuhan alam," ujar dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015