Denpasar (Antara Bali) - Pihak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar menyatakan jasad Sasya, bayi tanpa tempurung kepala atau "anenchepali", semenjak meninggal Sabtu (23/10), sampai sekarang masih terlantar.
"Jasad bayi malang tersebut masih terlantar, sebab belum ada keluarga yang mengambilnya," kata dr Made Kardana, dokter anak di ruang NICU RSUP Sanglah, di Denpasar, Selasa.
Dikatakan, bayi tanpa tempurung kepala yang dirawat di RSUP Sanglah sejak Jumat (22/10), akhirnya meninggal dunia, karena kondisinya memang sangat kritis.
Pihaknya pun sudah memprediksi hal tersebut, karena saat tiba di RSUP Sanglah, kondisi bayi itu memang sudah tidak stabil.
Kardana menjelaskan, dokter pun harus memasang infus untuk mencegah terjadinya infeksi. Selain itu, dokter juga memasang alat bantuan pernapasan oksigen untuk membantu pernapasannya. Namun, tetap saja nyawanya tidak tertolong.
"Bayi yang terlahir dengan kondisi seperti itu memang sangat berat untuk bertahan lama," ujarnya.
Karena kondisi bayi memang sudah mengkhawatirkan sejak lahir, maka pihak dokter pun hanya memberikan terapi suportif untuk membuat bayi tersebut tetap bertahan hidup.
"Pasien bayi Sasya itu meninggal karena mengalami kegagalan sistem pernapasannya," katanya.
Selain itu, ujarnya, pasien juga mengalami "neuro tube defect" atau tidak ada jaringan otak. "Kondisi itu memang biasa terjadi pada bayi penderita 'anenchepali'," katanya.
Dalam istilah medis, kondisi bayi yang terlahir tanpa tempurung kepala, disebut dengan "anenchepali". Tergolong dengan cacat lahir mayor yang terlihat secara kasat mata.
Sampai saat ini, penyebab pasti bayi terlahir dengan keadaan tanpa tempurung kepala belum diketahui. Biasanya, bayi akan terlahir dengan kondisi demikian sudah dapat diketahui pada awal masa kehamilan.
"Biasanya kondisi tersebut bisa diketahui 23-26 hari masa kehamilan," jelas dokter spesialis anak tersebut.
Dikatakan, di RSUP Sanglah sudah beberapa kali menangani bayi dengan kondisi seperti tersebut.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Jasad bayi malang tersebut masih terlantar, sebab belum ada keluarga yang mengambilnya," kata dr Made Kardana, dokter anak di ruang NICU RSUP Sanglah, di Denpasar, Selasa.
Dikatakan, bayi tanpa tempurung kepala yang dirawat di RSUP Sanglah sejak Jumat (22/10), akhirnya meninggal dunia, karena kondisinya memang sangat kritis.
Pihaknya pun sudah memprediksi hal tersebut, karena saat tiba di RSUP Sanglah, kondisi bayi itu memang sudah tidak stabil.
Kardana menjelaskan, dokter pun harus memasang infus untuk mencegah terjadinya infeksi. Selain itu, dokter juga memasang alat bantuan pernapasan oksigen untuk membantu pernapasannya. Namun, tetap saja nyawanya tidak tertolong.
"Bayi yang terlahir dengan kondisi seperti itu memang sangat berat untuk bertahan lama," ujarnya.
Karena kondisi bayi memang sudah mengkhawatirkan sejak lahir, maka pihak dokter pun hanya memberikan terapi suportif untuk membuat bayi tersebut tetap bertahan hidup.
"Pasien bayi Sasya itu meninggal karena mengalami kegagalan sistem pernapasannya," katanya.
Selain itu, ujarnya, pasien juga mengalami "neuro tube defect" atau tidak ada jaringan otak. "Kondisi itu memang biasa terjadi pada bayi penderita 'anenchepali'," katanya.
Dalam istilah medis, kondisi bayi yang terlahir tanpa tempurung kepala, disebut dengan "anenchepali". Tergolong dengan cacat lahir mayor yang terlihat secara kasat mata.
Sampai saat ini, penyebab pasti bayi terlahir dengan keadaan tanpa tempurung kepala belum diketahui. Biasanya, bayi akan terlahir dengan kondisi demikian sudah dapat diketahui pada awal masa kehamilan.
"Biasanya kondisi tersebut bisa diketahui 23-26 hari masa kehamilan," jelas dokter spesialis anak tersebut.
Dikatakan, di RSUP Sanglah sudah beberapa kali menangani bayi dengan kondisi seperti tersebut.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010