Denpasar (Antara Bali) - Kelompok nelayan mina Sari Asih, Sanur, Denpasar Bali, mengeluhkan sejak tiga hari tidak dapat menangkap ikan di laut akibat ombak di perairan daerah itu besar sehingga mempengaruhi hasil tangkapan ikan.
"Sudah tiga hari kami tidak melaut kerena gelombang laut dan angin yang cukup keras di tengah laut mencapai ketinggian dua meter," kata Ketut Sukarja, selaku ketua Kelompok Nelayan setempat, di Denpasar, Jumat.
Menurut dia, dengan tingginya gelombang laut itu sangat sulit untuk menangkap ikan, padahal pada September saat ini sudah musimnya ikan tongkol yang cukup banyak.
Selain musim ikan tongkol, kata Sukarja, saat ini juga musim ikan kakap dan kerapu yang memiliki nilai ekonomis karena nilai jualnya cukup bagus di pasaran.
"Untuk satu kilogram ikan kakap dibandrol Rp50.000, ikan kerapu Rp60.000 per kilogram dan ikan tongkol Rp10.000 per ekornya," katanya.
Namun, saat gelombang laut tidak mendukung, kata dia, sangat sulit untuk menangkap ikan sehingga pihaknya menyandarkan jukungnya sementara waktu hingga cuaca mulai kondusif.
"Beberapa waktu lalu kami mampu menangkap ikan hingga 50 kilogram ikan tongkol saat cuaca baik, namun saat ini sangat sulit," ujarnya.
Untuk mengisi aktivitas selama tidak melaut, lanjut dia, nelayan setempat tidak melakukan aktivitas apapun. Namun, terkadang penyewaan "kapal jukung" atau kapal kecilnya untuk mengantar mayarakat yang melakukan kegiatan "nyekah" atau rangkaian ritual ngaben (kremasi jenazah).
Selain pengaruh gelombang air laut, menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan karena adanya peralihan musim air laut dari panas ke dingin. "Apabila dipaksakan melaut akan beresiko terhadap keselamatan kami," ujarnya.
Ketut Sukarja mengakui dalam setiap satu kali melaut menghabiskan biaya operasional untuk membeli bahan bakar solar, es batu untuk mendinginkan ikan dan kebutuhan makanan saat memancing sebesar Rp450 ribu.
Namun, apabila hasil tangkapan sedikit, maka hanya mampu menutupi biaya operasional nelayan saat melaut dan nelayan tidak mendapat untuk banyak seperti saat panen ikan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Sudah tiga hari kami tidak melaut kerena gelombang laut dan angin yang cukup keras di tengah laut mencapai ketinggian dua meter," kata Ketut Sukarja, selaku ketua Kelompok Nelayan setempat, di Denpasar, Jumat.
Menurut dia, dengan tingginya gelombang laut itu sangat sulit untuk menangkap ikan, padahal pada September saat ini sudah musimnya ikan tongkol yang cukup banyak.
Selain musim ikan tongkol, kata Sukarja, saat ini juga musim ikan kakap dan kerapu yang memiliki nilai ekonomis karena nilai jualnya cukup bagus di pasaran.
"Untuk satu kilogram ikan kakap dibandrol Rp50.000, ikan kerapu Rp60.000 per kilogram dan ikan tongkol Rp10.000 per ekornya," katanya.
Namun, saat gelombang laut tidak mendukung, kata dia, sangat sulit untuk menangkap ikan sehingga pihaknya menyandarkan jukungnya sementara waktu hingga cuaca mulai kondusif.
"Beberapa waktu lalu kami mampu menangkap ikan hingga 50 kilogram ikan tongkol saat cuaca baik, namun saat ini sangat sulit," ujarnya.
Untuk mengisi aktivitas selama tidak melaut, lanjut dia, nelayan setempat tidak melakukan aktivitas apapun. Namun, terkadang penyewaan "kapal jukung" atau kapal kecilnya untuk mengantar mayarakat yang melakukan kegiatan "nyekah" atau rangkaian ritual ngaben (kremasi jenazah).
Selain pengaruh gelombang air laut, menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan karena adanya peralihan musim air laut dari panas ke dingin. "Apabila dipaksakan melaut akan beresiko terhadap keselamatan kami," ujarnya.
Ketut Sukarja mengakui dalam setiap satu kali melaut menghabiskan biaya operasional untuk membeli bahan bakar solar, es batu untuk mendinginkan ikan dan kebutuhan makanan saat memancing sebesar Rp450 ribu.
Namun, apabila hasil tangkapan sedikit, maka hanya mampu menutupi biaya operasional nelayan saat melaut dan nelayan tidak mendapat untuk banyak seperti saat panen ikan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015