Jakarta (Antara Bali) - Majelis Rakyat Indonesia (MARI) menilai kebijakan terkait energi oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dalam 10 bulan kepemimpinannya, bertentangan dengan prinsip yang termaktub dalam pasal di Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.
"Kebijakan pemerintahan Jokowi-JK dalam pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW yang sebagian besar diberikan pada swasta asing dan domestik jelas bertentangan dengan UUD 1945," kata Pimpinan MARI Eggi Sudjana dalam keterangan tertulisnya yang diterima di lokasi unjuk rasa, Jakarta, Selasa.
Dalam keterangan tertulis yang ditandatangani oleh Eggi Sudjana dan Yusuf A.R. tersebut, MARI mengatakan prinsip yang ditentang oleh kebijakan pembangkit listrik tersebut adalah Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang mengamanatkan 'cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara'.
Lebih lanjut, MARI menyoroti kebijakan mengadakan liberalisasi harga BBM premium yang dinilai menyengsarakan rakyat dan juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945.
"Kebijakan liberalisasi itu jelas menyengsarakan rakyat dan bertentangan dengan prinsip perekonomian Indonesia yang harus dibangun di atas asas kekeluargaan," ujar Eggi.
MARI juga menilai kebijakan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla untuk membangun Kereta api cepat Jakarta-Bandung, merupakan proyek yang bersifat 'mercusuar' dan bertentangan dengan prinsip 'ambeg paramarta' atau kepemimpinan adil dan bijaksana yang mengutamakan kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, MARI juga menilai kebijakan pemerintahan saat ini sangat liberal sehingga menegasi atau mengurangi hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. "Oleh realitas tersebut, kami menyerukan agar Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla mengundurkan diri," tuturnya.
Dari informasi yang dihimpun Antara, demonstrasi pada tanggal 1 September 2015 ini ada berbagai persatuan pekerja yang akan 'mengepung istana' antara lain, KSPI pimpinan Said Iqbal, KSPSI pimpinan Andi Ghani dan KSBSI pimpinan Mudhofir dan puluhan serikat pekerja lainnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Kebijakan pemerintahan Jokowi-JK dalam pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW yang sebagian besar diberikan pada swasta asing dan domestik jelas bertentangan dengan UUD 1945," kata Pimpinan MARI Eggi Sudjana dalam keterangan tertulisnya yang diterima di lokasi unjuk rasa, Jakarta, Selasa.
Dalam keterangan tertulis yang ditandatangani oleh Eggi Sudjana dan Yusuf A.R. tersebut, MARI mengatakan prinsip yang ditentang oleh kebijakan pembangkit listrik tersebut adalah Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang mengamanatkan 'cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara'.
Lebih lanjut, MARI menyoroti kebijakan mengadakan liberalisasi harga BBM premium yang dinilai menyengsarakan rakyat dan juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat 1 UUD 1945.
"Kebijakan liberalisasi itu jelas menyengsarakan rakyat dan bertentangan dengan prinsip perekonomian Indonesia yang harus dibangun di atas asas kekeluargaan," ujar Eggi.
MARI juga menilai kebijakan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla untuk membangun Kereta api cepat Jakarta-Bandung, merupakan proyek yang bersifat 'mercusuar' dan bertentangan dengan prinsip 'ambeg paramarta' atau kepemimpinan adil dan bijaksana yang mengutamakan kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, MARI juga menilai kebijakan pemerintahan saat ini sangat liberal sehingga menegasi atau mengurangi hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. "Oleh realitas tersebut, kami menyerukan agar Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla mengundurkan diri," tuturnya.
Dari informasi yang dihimpun Antara, demonstrasi pada tanggal 1 September 2015 ini ada berbagai persatuan pekerja yang akan 'mengepung istana' antara lain, KSPI pimpinan Said Iqbal, KSPSI pimpinan Andi Ghani dan KSBSI pimpinan Mudhofir dan puluhan serikat pekerja lainnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015