Singaraja (Antara Bali) - Sejarawan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Drs I Made Pageh M Hum menyesalkan banyaknya bangunan bersejarah di Bali Utara dirobohkan karena kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah di daerah itu.
"Bangunan bersejarah itu sebagian besar berlokasi di wilayah kota dan sekitarnya," kata Drs I Made Pageh M di Singaraja, Selasa.
Pageh menceritakan, pada 1945-1950 Belanda secara politik masih berusaha menguasai Bali, khususnya Buleleng meski Soekarno-Hatta di Jakarta telah mengumumkan proklamasi kemerdekaan.
"Belanda ketika itu menjadikan Buleleng sebagai Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) atau pusat pemerintahan sipil Belanda, sehingga Belanda banyak mendirikan perkantoran di jantung Kota Singaraja," kata dia.
Pada saat bersamaan, ketika masa pemerintahan Gubernur I Gusti Ketut Puja, Bali Utara (Buleleng) ditetapkan sebagai ibukota Sunda Kecil yang melingkupi wilayah Bali dan Nusa Tenggara. "Mengingat Buleleng memiliki pelabuhan besar yang menjadi pusat perdagangan, yakni Pelabuhan Buleleng," imbuhnya.
Namun, ia melanjutkan, pada 1952 secara politik Sunda Kecil terbagi menjadi tiga wilayah yakni Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan selanjutnya pada 1962 ibukota Bali beralih ke Denpasar.
Lebih lanjut dikatakan, dahulu di jantung Kota Singaraja, tepatnya sekarang di Tugu Singa Ambara Raja memanjang ke Utara hingga Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan Sempadan Kolonial Belanda.
Namun kini hanya segelintir saja bangunan bersejarah yang masih berdiri. "Saya pribadi menyesalkan banyak bangunan bersejarah yang telah beralih menjadi milik perseorangan, sehingga tidak ada yang bisa menghalangi pemilik bangunan itu untuk membongkarnya," kata dia.
Ia menjelaskan, padahal sesuai Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2010, setiap bangunan yang berusia lebih dari 50 tahun termasuk cagar budaya dan harus dilindungi.
"Aturannya sebenarnya sudah ada, tetapi malah dilanggar sendiri sama pemerintah, sekarang banyak bangunan bersejarah yang telah menjadi perseorangan, ini sangat disayangkan. Jangan sampai kita tidak bisa melihat bangunan bersejarah karena semua dibongkar, ini perlu perhatian serius dari pemerintah, karena Buleleng ini memiliki sejarah yang luar biasa," ujar Pageh. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Bangunan bersejarah itu sebagian besar berlokasi di wilayah kota dan sekitarnya," kata Drs I Made Pageh M di Singaraja, Selasa.
Pageh menceritakan, pada 1945-1950 Belanda secara politik masih berusaha menguasai Bali, khususnya Buleleng meski Soekarno-Hatta di Jakarta telah mengumumkan proklamasi kemerdekaan.
"Belanda ketika itu menjadikan Buleleng sebagai Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) atau pusat pemerintahan sipil Belanda, sehingga Belanda banyak mendirikan perkantoran di jantung Kota Singaraja," kata dia.
Pada saat bersamaan, ketika masa pemerintahan Gubernur I Gusti Ketut Puja, Bali Utara (Buleleng) ditetapkan sebagai ibukota Sunda Kecil yang melingkupi wilayah Bali dan Nusa Tenggara. "Mengingat Buleleng memiliki pelabuhan besar yang menjadi pusat perdagangan, yakni Pelabuhan Buleleng," imbuhnya.
Namun, ia melanjutkan, pada 1952 secara politik Sunda Kecil terbagi menjadi tiga wilayah yakni Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan selanjutnya pada 1962 ibukota Bali beralih ke Denpasar.
Lebih lanjut dikatakan, dahulu di jantung Kota Singaraja, tepatnya sekarang di Tugu Singa Ambara Raja memanjang ke Utara hingga Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan Sempadan Kolonial Belanda.
Namun kini hanya segelintir saja bangunan bersejarah yang masih berdiri. "Saya pribadi menyesalkan banyak bangunan bersejarah yang telah beralih menjadi milik perseorangan, sehingga tidak ada yang bisa menghalangi pemilik bangunan itu untuk membongkarnya," kata dia.
Ia menjelaskan, padahal sesuai Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2010, setiap bangunan yang berusia lebih dari 50 tahun termasuk cagar budaya dan harus dilindungi.
"Aturannya sebenarnya sudah ada, tetapi malah dilanggar sendiri sama pemerintah, sekarang banyak bangunan bersejarah yang telah menjadi perseorangan, ini sangat disayangkan. Jangan sampai kita tidak bisa melihat bangunan bersejarah karena semua dibongkar, ini perlu perhatian serius dari pemerintah, karena Buleleng ini memiliki sejarah yang luar biasa," ujar Pageh. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015