Suasana di pelabuhan pendaratan ikan pada sore itu tidak seramai biasanya. Para nelayan berkerumun sambil bertelanjang dada. Sejenak menguapkan peluh dari tubuh setelah tersengat terik matahari di tengah hamparan Samudra Pasifik.

Sebagian di antara mereka tenggelam oleh buaian dunia maya yang tak lepas dari genggaman karena bagi mereka gawai bukan sekadar penghubung komunikasi keluarga, melainkan juga penghibur diri.

Dari Jembatan Nanfang`ao, samar-samar terlihat asap putih. Bari dibantu seorang temannya berusaha memadamkan api yang ada di depan kapalnya.

"Sudah matang!" serunya seraya memadamkan arang yang baru saja menghanguskan separuh badan ikan tengiri.

Nelayan asal pesisir Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, itu punya kebiasaan tersendiri setiap kali bulan puasa di Taiwan. "Sudah tiga kali bulan puasa saya di sini," kata nelayan yang sudah tiga tahun bekerja di kapal pencari batu karang berbendera Taiwan itu.

Selama tiga kali bulan puasa itu pula Bari harus berjuang melawan lapar dan dahaga di tengah teriknya matahari pada musim panas.

Energi tidak boleh berkurang, meskipun selama 17 jam tidak makan dan tidak minum. "Majikan tidak mau tahu, saya puasa atau tidak," ujar muazin Majsid Baitul Muslimin, Nanfang`ao, Yilan County, itu.

Dari pengatur waktu telepon seluler, terdengar suara azan magrib. Bari dan dua rekannya kembali ke buritan kapal untuk menyantap ikan tengiri bakar sebagai pelengkap nasi yang telah diguyur sayur asam.

Sebagian yang lainnya bergegas menuju warung yang khusus menjual makanan khas Nusantara. Mereka pun antre mengambil makanan dengan piring-piring kertas sekali pakai di depan kasir.

Sementara di tempat penampungan nelayan Indonesia juga tersedia jajanan takjil. "Suasananya kayak puasa di kampung halaman, meskipun tidak persis-persis amat," kata Syafruddin, nelayan asal Kabupaten Tegal di sela-sela mencicipi kolak kacang ijo di tempat penampungan.

Pria yang biasa menjadi juru dakwah di kalangan nelayan Yilan tersebut menganggap bahwa setiap bulan puasa terasa sangat istimewa. "Kalau musim panas seperti ini, angin di tengah laut rasanya panas. Ini cobaan tersendiri bagi kami-kami di Yilan," ujarnya.

Bukan saja udara panas yang berkisar antara 35 hingga 36 derajat Celcius, melainkan pada musim panas waktu siangnya lebih panjang ketimbang malam. Oleh sebab itu, rentang waktu berpuasa di Taiwan antara 16 hingga 17 jam sehari.

"Katanya pahala itu didasarkan pada tingkat kepayahan seseorang dalam menjalankan ibadah. Benar dan tidaknya, saya tidak tahu," kata seorang nelayan di penampungan yang lantai atasnya berfungsi sebagai masjid itu menimpali.

Sahur-Buka di Kapal

Makanan buka puasa tandas sudah. Lamat-lamat terdengar suara azan. Satu-persatu nelayan antre mengambil air wudlu di lantai dua penampungan yang diberi nama Masjid Baitul Muslimin itu.

Seusai tarawih 20 rakaat plus tiga rakaat witir, mereka tetap bertahan di masjid untuk memperingati malam Nuzulul Quran. Oleh sebab itu, masjid agak penuh daripada biasanya.

"Memang sekarang sebagian nelayan diliburkan oleh majikan karena kebetulan ikan lagi sepi," kata Abbas, nelayan asal Banten yang selalu kebagian tugas menjadi panitia peringatan keagamaan di Pelabuhan Nanfang`ao, Jumat (3/7) lalu.

Hampir setiap bulan purnama, sebagian besar nelayan di Taiwan berhenti melaut karena ikan tidak akan muncul di permukaan. Walau begitu, mereka tidak dikenai pemotongan gaji.

"Kalau pun libur begini, bukan berarti kami bebas. Pada saat majikan memanggil untuk berlayar, kami harus siap," kata Subah, nelayan asal Cirebon, yang baru saja pulang berlayar dari Fiji bersama majikannya.

Oleh karena nelayan libur melaut, maka pada malam 17 bulan Ramadhan di Pelabuhan Nanfang`ao terlihat ramai. Seusai peringatan Nuzulul Quran pun, masjid di lantai dua dipadati nelayan.

"Biasanya mereka pada tidur di kapal yang sandar. Tapi karena sekarang tidak melaut, mereka memilih tidur di sini," ujar Syafruddin.

Namun untuk urusan buka puasa dan sahur, para nelayan tidak memasak di tempat penampungan. "Bagi yang masak sendiri, buka dan sahur di kapal," katanya.

"Tetangga di sekitar penampungan sering merasa terganggu kalau kami masak. Mereka tidak suka bau masakan pedas. Akhirnya kami masak di kapal," sambungnya.

Praktis, bangunan dua lantai yang disewa nelayan Indonesia seharga 15.000 dolar Taiwan per bulan itu hanya sebagai tempat istirahat sejenak, ruang administrasi Forum Komunukasi Pelaut Indonesia-Taiwan (FKPIT), dan Masjid Baitul Muslimin.

Penghuni tempat penampungan itu pun tidak tetap karena para nelayan itu lebih banyak tinggal di kapal untuk memudahkan majikan yang sewaktu-waktu memerintahkan berlayar.

"Kalau uang sewa rumah ini, kami patungan," ujar Basir, sesepuh nelayan Nanfang`ao, mengenai penampungan yang dilengkapi Wifi dan televisi kabel itu.

Nanfang`ao yang berjarak sekitar 75 kilometer sebelah timur Ibu Kota Taiwan di Taipei itu dihuni sekitar seribu nelayan asal Indonesia. Mereka bekerja pada kapal-kapal pencari ikan dan batu karang berbendera Taiwan melalui sistem kontrak selama tiga tahunan dengan gaji per bulan rata-rata 20.000 dolar Taiwan.

Kapal-kapal tersebut tidak hanya menjalankan aktivitas di perairan sekitar Taiwan, melainkan juga ke wilayah Jepang, China, Pasifik Selatan, dan Afrika. (WDY)

Pewarta: Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015