Jakarta (Antara Bali) - Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto mengatakan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

"Namun, dengan lembaga yang ada (MK) harus kita hormati dan juga mengikuti apa yang sudah diputuskan di dalam peraturan-peraturan maupun undang-undang," katanya di Gedung Nusantara III, Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan bahwa MK merupakan lembaga yang berhak memutuskan uji materi terhadap undang-undang.

Menurut dia, DPR bisa membicarakan terkait dengan evaluasi pelaksanaan putusan MK itu ketika sudah dilaksanakan. Misalnya, apakah terjadi praktik korupsi dan nepotisme.

"Apabila sudah dilaksanakan dan dievaluasi, lalu ternyata lebih banyak dampak negatifnya, bisa ditinjau ulang putusan tersebut," ujarnya.

Evaluasi itu, kata Agus, bisa dilakukan dengan memberikan masukan kepada MK dalam rapat dengar pendapat dan rapat kerja.

Namun, dia enggan buru-buru melakukan evaluasi terhadap putusan tersebut. Menurut dia, lebih baik saat ini masyarakat menghormati putusan tersebut.

"Memberikan masukan melalui RDP dan raker, kami akan memberikan evaluasi terhadap putusan MK tersebut. Namun, sekarang hormati putusan tersebut," katanya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 Huruf r UU No. 8/2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/ 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

Mahkamah Konstitusi menilai aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, Pasal 7 Huruf r UU No. 8/2015," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/7).

Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik.

Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.

Hakim menilai, Pasal 7 Huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, yaitu pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengatakan bahwa Pasal 7 Huruf r bertentangan dengan Pasal 28 j Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

"Tampak nyata pembedaan dengan maksud untuk mencegah kelompok atau orang tertentu untuk menggunakan hak konstitusi, hak untuk dipilih," ujar Patrialis. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Imam Budilaksono

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015