Denpasar, (Antara Bali) - Masyarakat peduli dengan kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) membentuk Forum Revitalisasi Penyelamatan GWK, terkait semakin kisruhnya masalah objek wisata itu.

"Kekisruhan dan keprihatian terhadap kawasan GWK mengundang reaksi warga Bali untuk membentuk Forum Revitalisasi GWK, yang terdiri dari budayawan, akademisi, pengamat pariwisata, ekonom maupun pemilik pertokoan Plaza Amata," kata Wakil Ketua Perhimpunan Pemilik Toko Plaza Amata (PPTPA) Sudiarta Indrajaya di sela acara Fokus Group Diskusi (FGD) di Denpasar, Senin.

Ia mengatakan langkah ini dilakukan supaya warga mengetahui akar permasalahan yang terjadi di kawasan GWK dari sejak konsep awal hingga terjadinya perubahanpengelolaan GWK saat ini.

"Kami sudah melihat konsep awal berdirinya kawasan GWK adalah sebagai taman budaya (culture park), tetapi sejak dikelola oleh PT Alam Sutera Realty (ASR), konsepnya justru menjadi kawasan relestate terpadu," ucapnya.

Dalam FGD tersebut berbagai pandangan terungkap sejak berdirinya GWK sampai sekarang juga belum berdiri patung yang menjadi ikon objek wisata, yakni GWK.

Mantan Direktur Utama PT Garuda Adhimatra Indonesia (GAIn) Putu Antara yang sempat membantu konseptor GWK, Nyoman Nuarta mengatakann dari masterplan awal GWK tahun 2006 saat pembangunan pedestal GWK juga membangun pertokoan yang berjalan cukup sukses.

Saat itu, kata Putu Antara, PT Pengembangan Pariwisata Bali (BTDC) hanya memiliki saham 18 persen. Namun setelah masuknya investor baru ke GWK yakni PT Alam Sutera Realty tbk, ingin sekali menguasai investor kecil-kecil lainnya.

Perencanaan besar (masterplan) baru GWK yang dirancang oleh pengelola GWK malah sudah mengkomersilkan sebagai kawasan Relestate terpadu sehingga tidak lagi seratus persen taman budaya (cultural park), karena semuanya menjadi kawasan relestate atau perumahan mewah.

"Yang dimaksud `cultural park` untuk memperjuangkan lokal jenius di Bali. Hal ini ingin ditampilkan karena selama ini pengemasannya sangat kurang. Sehingga di GWK disediakan beragam fasilitas untuk produk karya kesenian Bali guna menampilkan secara sistematis ikon GWK," ucapnya.

Dengan masuknya PT Alam Sutera Realty, kini mengalami pergeseran bahkan sering terjadi pesta-pesta yang tidak layak dilakukan dikawasan itu. Seperti minum-minum atau dugem yang tidak semestinya dilakukan di daerah tersebut.

Sudiarta Indrajaya menambahkan awalnya pemilik toko membeli toko dari PT GAIn. Karena GWK ini memberikan harapan untuk mendirikan patung yang membanggakan di dunia sehingga terpanggil bersama-sama membeli toko untuk berkontribusi mewujudkan pembangunan GWK.

Saat peletakan batu pertama juga banyak yang terlibat dan didoakan dari berbagai komunitas agar segera terwujud menjadi kawasan budaya GWK Culture Park yang menjadi lokomotif pariwisata di Bali.

"Keyakinan muncul untuk membeli bersama-sama pertokoan dan berinvestasi membeli pertokoan ini. Namun sayangnya akibat peristiwa bom Bali 2002 menghambat proyek ini karena muncul keretakan-keretakan. Padahal keberadaan toko ini sangat berjasa besar untuk mempertahankan nama GWK apalagi Nyoman Nuarta sedang dalam kesulitan," ujarnya.

Sudiarta Indrajaya menjelaskan gejolak GWK muncul saat Nyoman Nuarta yang awalnya mendirikan PT Nyoman Nuartha Enterprise (NNE) yang memikili 82 persen saham GWK berganti nama menjadi PT Multi Matra Indonesia (MMI) dengan 41 persen saham Nuartha dan 41 persennya lagi PT Istana Group milik Gunawan Chandra dan Edi Sukamto.

Setelah masuklah PT Istana Group bersama Nyoman Nuarta dan Putu Antara dengan Ketua Yayasan GWK, Made Mangku Pastika yang sudah menjabat Gubernur Bali kala itu ingin melanjutkan pembangunan patung GWK.

Namun tahun 2007 juga terhambat karena terjadi gejolak antara PT Istana Group dengan Nyoman Nuarta sehingga tahun 2013, GWK akhirnya sampai saat ini dikuasai oleh PT GAIn, dan dirubahnya masterplan awal GWK yang sangat mengecewakan para pemilik Toko Plaza Amata.

Bahkan muncul polemik akibat pertokoan ditembok dan akses jalan ditutup serta badan jalan dikeruk yang menyebabkan akses masuk pertokoan menjadi tinggi sehingga sangat sulit kendaraan terutama bus untuk bisa masuk.

Persoalan yang terjadi sehingga pemilik toko kecewa dengan pengelola GWK. Apalagi dibilang GWK bukan kawasan pariwisata berbasis budaya, namun hanya destinasi pariwisata budaya padahal sebenarnya kawasan Relestate.

"Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta sudah sempat turun tangan untuk mendamaikan persoalan GWK yang kita rasakan sangat cepat. Namun hingga kini masih upaya damai itu masih membingungkan karena awalnya sudah dipastikan itu kawasan sehingga wajib menyerahkan fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum dan fasos), namun mendadak berubah disebut destinasi pariwisata budaya dan bukan kawasan," katanya.

Rohaniawan (sulinggih) Sabha Pandita Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Acharya Agni Yoga Nanda mengaku waktu menjabat anggota Komisi A DPRD Bali konsep awal GWK juga pernah mau dirubah sehingga membuktikan investor sangat arogan.

"Kita menuntut dikembalikan visi dan misinya yang semakin lama harus diperkuat bukan digeser. Yang paling pantas Pemprov Bali dan Pemkab Badung serta Pemerintah Pusat yang mengelola, karena devisa yang terbesar masuk ke pusat. Memang ini ada yang berkepentingan dan harus dikawal oleh komponen umat Hindu bukan Parisada saja,"ucapnya.

Masyarakat Bali juga didorong mempertahankan konsep awal GWK bersama-sama dengan pemilik toko yang disebut memiliki masalah kecil, padahal ada masalah besar di balik itu. Jika hal ini dibiarkan simbol-simbol ini akan dijadikan alat saja.

"Prinsip ini yang harus dikawal. Kita meminta Gubernur dan DPRD Bali untuk memanggil investor yang merubah konsep awal GWK ini. Hal itu sudah jelas sebagai penipuan, penistaan dan pelecehan lambang agama. Jadinya ini bukan masalah biasa sehingga harus membentuk tim gabungan meminta pertanggungjawaban," ujarnya.

Acharya Agni minta pertanggungjawaban Nuartha sebagai seniman karena uang negara masuk harus dipertanggungjawabkan.

Dikatakan, jika rakyat Bali ingin kembali ke GWK ke konsep awal, masalah pemilik toko ini harus dituntaskan dan harus dikawal Pemprov Bali dan Pemkab Badung untuk segera menyelesaikan agar tidak bergeser menjadi konsep abu-abu.

"Kita minta masterplan awal harus diperkuat dan tidak bergeser menjadi destinasi lain. Simbol-simbol agama harus diamankan agar tidak dilecehkan nantinya oleh pihak-pihak tertentu. Kita harus sadar bergerak bersama-sama agar sekadar kasus ini bisa menyadarkan setia dan konsisten mengawal budaya rohani kita yang bukan budaya biasa," ucapnya.

Pengurus PHDI Kabupaten Badung, Wayan Sukayasa mengakui proyek ini tidak akan selesai jika desain patungnya tidak ditentukan, semestinya dimana ditaruh sebenarnya. Apalagi patung tidak pernah diupacarai sampai sekarang.

Investor harus bisa menyesuaikan dengan "Tri Hita Karana" (tiga keseimbangan dan keharmonisan). Investor yang datang hanya mengobok-ngobok Bali dan ingin membangun di Bali tanpa memperhatikan lingkungan.

"Kami sangat prihatin dengan GWK, apalagi ada investor baru menembok pembatas di pertokoan dan melarang akses jalan masuk. Janji-janji GWK membangun `rurung agung` bagi para penyanding juga harus dijalankan dengan baik. Pemerintah Bali harus menyelesaikan persoalan tersebut," katanya.(I020)

Pewarta: Pewarta : I Komang Suparta

Editor : I Komang Suparta


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015