Taipei (Antara Bali) - Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia mendorong jajaran "Indonesia Diaspora Network" memberdayakan tenaga kerja Indonesia di Taiwan dalam meningkatkan taraf hidup.

"IDN harus bisa bantu memberdayakan TKI," kata Kepala KDEI di Taipei, Arief Fadillah dalam seminar tentang "Indonesia Bangkit" yang digelar IDN Taiwan di Taipei, Senin.

Menurut dia, IDN yang mewadahi warga negara Indonesia di luar negeri menjadi mitra strategis bagi perwakilan pemerintah Indonesia. "Apalagi di Taiwan banyak WNI, baik pekerja maupun pelajar yang semuanya perlu diwadahi," ujarnya, menambahkan.

Ia menyebutkan bahwa dari 230 ribu TKI di Taiwan, 75 persen bekerja pada sektor informal yang orientasi kerjanya masih sebatas mencari uang.

"Paradigma seperti itu harus diubah. Kerja jangan hanya cari duit, tetapi juga harus berpikir bahwa kerja untuk mencari penghasilan. Biar tidak selamanya bekerja di negeri orang," tutur Arief.

Ia merasa bersyukur bahwa usulannya menaikkan gaji TKI sektor informal dari 15.084 dolar Taiwan menjadi 17.500 dolar Taiwan per bulan disetujui oleh pemerintah Taiwan.

"Kenaikan gaji ini hanya berlaku bagi TKI yang baru datang atau bekerja atas kontrak baru per 1 Juli 2015. Kalau untuk sektor formal sudah diputuskan oleh pemerintah Taiwan dari 19.000 NT (dolar Taiwan) menjadi 20.008 NT per bulan," paparnya.

Sementara itu, seminar "Indonesia Bangkit" juga menghadirkan empat pembicara dari WNI yang sudah belasan hingga puluhan tahun tinggal di Taiwan.

Zhang Zhong Chun, pensiunan guru yang kini menjabat Ketua Indonesian Overseas Chinese Association (IOCA), menceritakan pengalamannya saat pertama kali datang ke Taiwan pada 1957, setelah situasi ekonomi dan politik di Indonesia tidak kondusif.

"Meskipun demikian, saya tetap mencintai Tanah Air. Setiap tahun saya dua kali pulang ke Indonesia," ucap pria berusia 80 tahun yang berpindah kewarganegaraan Taiwan sejak 1960 itu.

Demikian pula dengan Max Chandra, terpaksa hengkang ke Taiwan pada 1965 akibat sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia ditutup. Namun setelah melalui proses panjang, dia secara resmi tercatat sebagai warga negara Taiwan pada 1996.

"Sekarang saya jadi menyesal setelah sering kali pulang ke Indonesia harus mengurus visa, sehingga waktu saya bertemu dengan saudara-saudara yang lain jadi terbatas," ungkap pria yang bekerja sebagai misionaris dan konselor tersebut.

Selain dua WNI yang berpindah kewarganegaraan, IDN juga menghadirkan dua pembicara dari kalangan WNI yang sudah belasan hingga puluhan tahun tinggal di Taiwan, namun tidak berpindah kewarganegaraan.

"Sudah 22 tahun saya tinggal dan merintis usaha di Taiwan. Tapi sampai saat ini tidak ada niat sedikit pun untuk pindah kewarganegaraan," cetus Joy Simpsons selaku CEO Indo Suara disambut tepuk tangan hadirin yang memadati Hall Indonesia-Taiwan (Intai).

Demikian pula dengan disainer batu permata, Kartika Dewi yang sudah 15 tahun bersuamikan warga negara Taiwan, namun tidak ingin berpindah kewarganegaraan. "Hati saya masih Merah-Putih," tukasnya.

Selain diisi seminar, kegiatan tersebut diisi dengan balap kelereng dan lomba memasukkan sumpit ke dalam botol. Permainan tradisional khas Nusantara itu tidak hanya diikuti WNI, melainkan juga warga negara Taiwan yang diundang dalam kegiatan tersebut.

"Kegiatan ini memang kami rangkaikan dengan peringatan HUT ke-70 RI karena pada bulan Agustus nanti, kami sibuk dengan kegiatan Konferensi IDN di Jakarta," kata Ketua IDN Taiwan, Deyantoro Candra.

Ia menyambut positif dorongan KDEI bahwa organisasi yang dipimpinnya harus bisa membantu memberdayakan TKI di Taiwan. "Sebenarnya IDN ini sudah menjadi wadah bagi WNI, baik yang sudah berpindah kewarganegaraan maupun tidak. Apa pun statusnya, termasuk TKI," ujar CEO Media Intai itu. (WDY)

Pewarta: Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015