Denpasar (Antara Bali) - Jaksa penuntut umum menolak nota keberatan Bupati Lombok Barat nonaktif Zaini Arony (60) yang diduga melakukan pemerasan Rp1,4 miliar atas izin pengunaan pemanfaatan tanah (IPPT) tahun 2012 terhadap Putu Gede Djaja selaku investor.

"Kami menolak semua keberatan terdakwa dan memohon kepada majelis hakim tetap melanjutkan perkara ini," kata JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Kiki Ahmad Yani, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Senin.

JPU menganggap keberatan atau eksepsi yang diajukan terdakwa lebih banyak mengarah pada pokok perkara.

Terkait sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kiki menyatakan, perbuatan dugaan pemerasan yang dilakukan terdakwa dilakukan di Bali.

Oleh sebab itu, awal pemerasan dan penerimaan pertama dilakukan di Bali sehingga jaksa memiliki kewenangan melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Tipikor Denpasar atau Mataram.

JPU membantah sidang dilakukan di Pengadilan Tipikor Denpasar karena alasan keamanan yang diakuinya bahwa beberapa saksi sempat membuat keterangan berubah-ubah karena ada indikasi tekanan. "Saksi kurang bebas dalam memberikan keterangan," katanya.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa korban pada Oktober 2010 berkeinginan berinvestasi tanah seluas 170 hektare dengan kesepakatan harga Rp28 miliar untuk membangun kawasan wisata di Desa Buwun Mas, Kabupaten Lombok Barat sekaligus untuk menciptakan lapangan pekerjaan di daerah itu.

Oleh karena untuk membangun kawasan wisata itu korban harus membuat izin pemanfaatan ruang seperti izin prinsip, izin lokasi, dan IPPT.

Korban diajak bekerja sama oleh terdakwa untuk mengajukan izin tersebut dengan menggunakan nama perusahaan PT Kembang Kidul Permai.

Terdakwa justru meminta uang kepadda korban yang menjabat Komisaris Utama PT Djaja Business Group pada 2010 hingga 2013.

Terdakwa melakukan pemerasan terhadap korban untuk melancarkan perizinan IPPT itu dengan meminta dua unit mobil Toyota Innova senilai Rp295 juta, jam tangan Rolex Rp130 juta, satu cincin mata kucing Rp64 juta, uang tunai dengan total Rp700 juta, dan tanah seluas 29.491 meter persegi di Desa Buwun Mas, Kabupaten Lombok Barat, untuk melancarkan proses perizinan itu.

Akibat permintaan terdakwa yang begitu banyak untuk mendapatkan IPPT tersebut, korban merasa tertekan lahir batin.

Oleh sebab itu, terdakwa dijerat dengan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Pasal 20 Tahun 2001 jo Pasal 421 KUH Pidana jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.

Kemudian Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Pasal 20 Tahun 2001 jo Pasal 421 KUH Pidana jo Pasal 64 Ayat 1 KUHP. (WDY)

Pewarta: Oleh I Made Surya

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015