Denpasar (Antara Bali) - Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali menyarankan pembangunan destinasi pariwisata harus memperhatikan kearifan lokal yang didasarkan pada konsep "Tri Hita Karana" atau keseimbangan dan keharmonisan.

"Tri Hita Karana adalah suatu konsep yang universal karena membangun sebuah destinasi pariwisata tidak terlepas dari konsep masyarakat Bali (Hindu) yang mengutamakan kearifan lokal," kata Pengurus Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Wayan Suarjaya pada acara diskusi pariwisata dan budaya bertema "Destinasi Pariwisata Baru Berkearifan Lokal" di Denpasar, Kamis.

Ia mengatakan dalam konsep tersebut telah menjabarkan keseimbangan secara menyeluruh, yakni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan manusia itu sendiri.

"Pembangunan kepariwisataan budaya Bali sejatinya diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta memperkukuh jati diri masyarakat setempat. Selain itu juga meningkatkan kesejahteraan warga dengan pelestarian lingkungan sekitarnya," kata mantan Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama ini.

Ia mengatakan komponen budaya Bali yang menjadi potensi daya tarik wisata, meliputi kesenian, kepurbakalaan, kesejarahan, permuseuman, kesusastraan dan tradisi yang telah melekat dalam kehidupan warga.

Suarjana juga menyoroti dengan perkembangan pariwisata menimbulkan pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk juga rapuhnya nilai gotong-royong, sifat individual termasuk juga nilai kesakralan bergeser.

"Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka masyarakat Bali harus sadar dan mampu kembali pada jati diri dalam melestarikan budaya yang telah turun-temurun. Usaha itulah langkah yang tepat untuk bisa melestarikan kebudayaan yang menjadi daya tarik wisatawan ke Pulau Dewata," ujarnya.

Tanpa ada usaha seperti itu, kata dia, tidak menutup kemungkinan kearifan lokal itu akan menurun secara drastis karena nilai gotong royong, kekeluargaan atau kekerabatan dipacu hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

"Jika semua masyarakat (orang Bali) mempunyai sudut pandang untuk kebutuhan ekonomi semata dalam sektor pariwisata, maka perilaku warga dalam gotong-royong semuanya akan dinilai dengan uang," ujarnya.

Ia mengatakan bertahannya budaya Bali, karena masyarakat Hindu mempercayai semua aktivitasnya berdasarkan "yadnya" atau persembahan ikhlas kepada Sang Pencipta (Tuhan). Dasar inilah yang mampu mempertahankan budaya itu.

"Karena itu, untuk tetap lestarinya budaya Bali, para pemangku kepentingan dan pemerintah agar memberi kontribusi secara langsung bagi pelaku pelestari budaya tersebut, baik melalui lembaga, maupun kelompok, seperti pada saat melakukan upacara adat dan agama," katanya. (WDY)

Pewarta: Oleh I Komang Suparta

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015