Wanita setengah baya dengan peralatan tenun sederhana memproduksi kain tenun khas Bali di sebuah banjar (dusun), pusat pengembangan industri kerajinan, Kabupaten Gianyar, Bali.

Ni Made Rumini (35) secara tekun dan teliti memproduksi kain tenun khas Bali untuk memenuhi pesanan langgan para pedagang di Pasar Sukawati yang selama ini ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri saat menikmati liburan di Pulau Dewata.

Produksinya tidak begitu banyak. Dalam sebulan, maksimal menghasilkan 10 lembar, yang setiap lembarnya dijual sekitar Rp200 ribu. Kain tersebut dijual kembali oleh pedagang di Pasar Sukawati dengan harga yang berlipat ganda.

Mata dagangan serupa juga menembus pasaran ekspor. Bank Indonesia Wilayah III Bali Nusa Tenggara mencatat perolehan devisa dari perdagangan ekspor kain tenunan bali selama 2014 relatif cukup stabil mencapai 21,3 juta dolar AS. Jika dibandingkan dengan devisa pada tahun sebelumnya sekitar 21,6 juta dolar.

Dalam kondisi ekonomi belum stabil di dalam maupun luar negeri, terutama nilai dolar AS terhadap rupiah, perdagangan hasil karya pengrajin Bali sebanyak itu relatif cukup menggembirakan.

Stabil perdagangan kain tenunan bali ke pasar mancanegara, salah satunya berkat para desainer nasional sering memadukan hasil karyanya dengan menyelipkan kain tenunan berupa endek bali sehingga menjadi daya tarik konsumen karena memiliki ciri khas Bali.

Ini merupakan salah satu, kain tenunan bali mulai dilirik konsumen mancanegara, baik hasil tenunan berupa endek maupun tenunan ikat, yang hingga kini diproduksi secara tradisional. Konsumen luar negeri mulai memburu hasil karya manual tersebut.

"Kain tenun bali diharapkan bisa menjadi komoditas unggulan Indonesia dan diyakini mampu menembus pasar ekspor jika mendapat sentuhan para perancang kondang yang terbiasa membidik pasar internasional," tutur Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Panasunan Siregar.

Kain tenunan merupakan salah satu dari enam jenis hasil industri kerajinan skala rumah tangga yang menembus pasaran ekspor. Kain tenun ikat khas Bali sebagai satu kekayaan bangsa sangat potensial untuk dikembangkan dalam upaya memperkaya khazanah budaya bangsa dan sekarang memang sudah mulai memasuki pasar ekspor, terutama ke Jepang, Amerika, dan Eropa.

Bali memang memiliki beberapa jenis tenunan, yakni tenunan songket dan tenun ikat. Pembuatan tenunan Bali masih relatif sangat tradisional dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).

Kedua jenis tenunan itu memiliki bahan baku yang berbeda, yakni tenun songket memiliki bahan baku benang emas dan perak serta tenun ikat berbahan benang pakan dan benang lungsing. Namun, kedua jenis tenunan itu dibuat menggunakan ATBM.

Para pengrajin dalam memproduski kain endek selalu mempertimbangan rancang bangun (desain) yang lebih modern dengan mengapdopsi corak-corak dari alam sekitarnya, seperti daun dan bunga, tentu yang bisa diterima calon konsumen mancanegara.

Pengusaha Bali juga menyediakan desain modern lainnya yang disederhanakan sehingga tetap menarik dengan tidak menghilangkan kekhasan Pulau Dewata.

Kain endak untuk pasar di Bali juga makin semarak berkat adanya perhatian gubernur, bupati, dan wali Kota yang mengintruksikan kepada stafnya untuk membuat pakaian seragam, salah satunya supaya memilih jenis endek. Dengan cara ini, dapat membantu pemasaran hasil kerajinan tenun.

Andil 76,66 Persen

Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan bahwa industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang berkembang hingga ke pelosok perdesaan mampu memberikan andil sebesar 76,66 persen dari total ekspor nonmigas Bali sebesar 503,82 juta dolar AS selama 2015.

Perolehan devisa tersebut meningkat 3,65 persen jika dibandingkan dengan devisa pada tahun sebelumnya sebesar 486,06 juta dolar AS. Dalam kurun waktu Januari--Februari 2015 tercatat 79,01 juta dolar AS, atau menurun 8,45 persen dari total devisa pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 86,30 juta dolar AS.

Dengan demikian, industri kecil dan kerajinan rumah tangga mampu menjadi tulang punggung ekspor nonmigas Bali setiap tahunnya. Kegiatan yang mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja itu menjadi prioritas pembangunan Bali, di samping sektor pertanian dan pariwisata.

Ketiga sektor prioritas itu saling terkait satu sama lainnya dengan harapan mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat Bali.

Patung dan aneka jenis cendera mata lainnya hasil kerajinan dari bahan baku kayu sentuhan tangan-tangan terampil seniman dan perajin Bali mampu bersaing di pasaran ekspor yang mampu memberikan kontribusi sebesar 14.54 persen dari total ekspor Bali.

Sentuhan unsur seni dan berbagai jenis rancang bangun mampu menarik perhatian konsumen mancanegara sehingga jenis mata dagangan bernilai ekonomis tinggi itu banyak dipesan mitra usaha di mancanegara.

Cendera mata dari bahan baku kayu itu mampu meraup devisa sebesar 73,24 juta dolar AS selama tahun 2014, merosot 18,17 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 90,61 juta dolar AS.

Demikian pula, dari segi volume berkurang 10,34 persen dari 77,01 juta unit pada tahun 2013 menjadi 73,24 juta unit pada tahun 2014.

Sementara itu, mata dagangan berupa tas yang dirancangkan dalam berbagai desain yang unik dan menarik mampu meraup 3,29 dolar AS selama 2014, atau naik 117,2 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat 1,51 juta dolar AS.

Tas yang dibuat dari bahan baku kulit itu dikombinasikan dengan manik-manik untuk wanita dan pria yang cocok untuk semua golongan umur di berbagai negara belahan dunia. Pasalnya, produk ini relatif banyak diminati konsumen.

Bahan baku lokal setelah menjadi mata dagangan, hasilnya akan lebih menguntungkan daripada bahan baku impor. Namun, produksinya dipasarkan secara lokal maupun nasional, seperti kerajinan perak.

Sulit Ditingkatkan

Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bali Drs. Panudiana Kuhn, M.M. menilai krisis ekonomi global yang masih dialami sejumlah negara yang selama ini menampung mata dagangan dari Bali menyebabkan ekspor non migas Bali sulit ditingkatkan.

Berbagai jenis mata dagangan asal Bali makin sulit bersaing di pasaran ekspor, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Sebagian bahan baku TPT itu harus diimpor yang cenderung harganya makin mahal.

Demikian pula, ongkos buruh, biaya produksi dan ongkos pengiriman makin mahal, di samping birokrasi yang belum sesuai dengan harapan pengusaha yang menyebabkan terjadinya biaya tinggi.

"Semua itu menjadi kendala sehingga perolehan ekspor nonmigas Bali terus merosot dalam beberapa tahun belakangan, di samping sulitnya menembus pasaran potensial, seperti Tiongkok dan Vietnam," ujarnya.

Bahkan, Tiongkok menanamkan investasinya di Indonesia dalam jumlah relatif besar dan melakukan proses produksi menyangkut berbagai jenis mata dagang yang nantinya selain dipasarkan di Indonesia juga tujuan ekspor.

Semua itu, akan melemahkan dan menyulitkan posisi pengusaha Indonesia, termasuk Bali, sehingga semua kegiatan bisnis tidak menguntungkan, kecuali sektor pariwisata.

Kondisi yang demikian itu, menuru dia, perlu mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya instansi terkait untuk memberikan kemudahan dalam bidang birokrasi, kucuran dana berbunga ringan, serta tenaga terampil dalam jumlah memadai.

"Pemerintah selama ini hanya menyediakan tenaga terampil dalam bidang pariwisata, bahkan mengirim untuk kapal pesiar maupun untuk hotel dan rentoran ke berbagai negara, sementara pekerja untuk industri tidak tersentuh," ujar Panudiana Kuhn. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015