Denpasar (Antara Bali) - Subsektor tanaman perkebunan rakyat (NTP-Pr) di Bali dalam pembentukan nilai tukar petani (NTP) menurun 3,26 persen dari 100,09 persen pada Februari 2015 menjadi 96,83 persen pada Maret 2015.
"Merosotnya NTP subsektor perkebunan hingga berada di bawah 100 menunjukkan bahwa, petani tanaman perkebunan rakyat mengeluarkan biaya untuk konsumsi dan usaha pertanian lebih besar dari pendapatannya," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Panasunan Siregar di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, indeks harga yang diterima petani (lt) menurun sebesar 2,58 persen dan indeks harga yang dibayar petani (lb) naik sebesar 0,70 persen. Menurunnya indeks harga yang diterima petani dipengaruhi oleh berkurangnya harga beberapa komoditas antara lain kopi, cengkeh, kakao dan kapas.
Panasunan Siregar menambahkan, sedangkan naiknya indeks harga yang dibayar petani dipengaruhi oleh indeks konsumsi rumah tangga (IKRT) sebesar 0,86 persen serta biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) 0,20 persen.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali I Dewa Made Buana Duwuran dalam kesempatan terpisah menjelaskan, harga kopi Bali selama ini menjadi mata dagangan ekspor tetap bertahan di tingkat petani di kabupaten Jembrana, Buleleng maupun di kabupaten Bangli, untuk jenis arabika maupun robusta.
Harga hasil perkebunan rakyat di daerah ini cukup stabil di awal tahun 2015, dan tidak terpengaruh terhadap gejolak dolar maupun situasi politik. Petani Bali harus tetap berbangga karena kopi jenis arabika yang tumbuh di kawasan wisata Kintamani memiliki sejumlah keunggulan dan telah mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis (IG) pada tahun 2014.
Dengan masuknya kopi arabika Kintamani sebagai komoditas unggulan nasional, berdampak terhadap prospek pengembangan komoditas tersebut di masa mendatang, disamping saat ini sudah menjadi matadagangan ekspor ke Jepang dan Eropa. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Merosotnya NTP subsektor perkebunan hingga berada di bawah 100 menunjukkan bahwa, petani tanaman perkebunan rakyat mengeluarkan biaya untuk konsumsi dan usaha pertanian lebih besar dari pendapatannya," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Panasunan Siregar di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, indeks harga yang diterima petani (lt) menurun sebesar 2,58 persen dan indeks harga yang dibayar petani (lb) naik sebesar 0,70 persen. Menurunnya indeks harga yang diterima petani dipengaruhi oleh berkurangnya harga beberapa komoditas antara lain kopi, cengkeh, kakao dan kapas.
Panasunan Siregar menambahkan, sedangkan naiknya indeks harga yang dibayar petani dipengaruhi oleh indeks konsumsi rumah tangga (IKRT) sebesar 0,86 persen serta biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) 0,20 persen.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali I Dewa Made Buana Duwuran dalam kesempatan terpisah menjelaskan, harga kopi Bali selama ini menjadi mata dagangan ekspor tetap bertahan di tingkat petani di kabupaten Jembrana, Buleleng maupun di kabupaten Bangli, untuk jenis arabika maupun robusta.
Harga hasil perkebunan rakyat di daerah ini cukup stabil di awal tahun 2015, dan tidak terpengaruh terhadap gejolak dolar maupun situasi politik. Petani Bali harus tetap berbangga karena kopi jenis arabika yang tumbuh di kawasan wisata Kintamani memiliki sejumlah keunggulan dan telah mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis (IG) pada tahun 2014.
Dengan masuknya kopi arabika Kintamani sebagai komoditas unggulan nasional, berdampak terhadap prospek pengembangan komoditas tersebut di masa mendatang, disamping saat ini sudah menjadi matadagangan ekspor ke Jepang dan Eropa. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015