Jakarta (Antara Bali) - Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan karena MK menilai permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (19/3) sore.
Dalam dalilnya, pemohon (Apindo) berpendapat bahwa rekomendasi dari Dewan Pengupahan sering kali diabaikan. Kendati demikian, Mahkamah menilai bahwa argumentasi pemohon hanya berdasarkan peristiwa yang terjadi di Jawa Timur, pemohon juga tidak bisa membuktikan bila hal tersebut terjadi di seluruh Indonesia.
Mahkamah kemudian juga berpendapat bahwa gubernur harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan, terutama dalam penetapan upah minimum provinsi (UMP).
Pemohon juga mempersoalkan bahwa dalam praktiknya Pasal 89 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan juga terdapat kemungkinan terjadinya multitafsir dan timbulnya ketidakpastian hukum serta ketidakadilan. Mahkamah kemudian menilai bahwa ketentuan yang ada dalam UU a quo justru secara spesifik mengatur penerapan ketentuan-ketentuan dan kebijakan tentang upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 Ayat (3) Huruf a UU Ketenagakerjaan.
"Secara nyata, bahwa permohonan pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi norma Pasal 88 Ayat (4) dan Pasal 89 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (19/3) sore.
Dalam dalilnya, pemohon (Apindo) berpendapat bahwa rekomendasi dari Dewan Pengupahan sering kali diabaikan. Kendati demikian, Mahkamah menilai bahwa argumentasi pemohon hanya berdasarkan peristiwa yang terjadi di Jawa Timur, pemohon juga tidak bisa membuktikan bila hal tersebut terjadi di seluruh Indonesia.
Mahkamah kemudian juga berpendapat bahwa gubernur harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan, terutama dalam penetapan upah minimum provinsi (UMP).
Pemohon juga mempersoalkan bahwa dalam praktiknya Pasal 89 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan juga terdapat kemungkinan terjadinya multitafsir dan timbulnya ketidakpastian hukum serta ketidakadilan. Mahkamah kemudian menilai bahwa ketentuan yang ada dalam UU a quo justru secara spesifik mengatur penerapan ketentuan-ketentuan dan kebijakan tentang upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 Ayat (3) Huruf a UU Ketenagakerjaan.
"Secara nyata, bahwa permohonan pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan implementasi norma Pasal 88 Ayat (4) dan Pasal 89 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015